Kebijakan
Pemerintah Untuk Menjamin Manajemen Berbasis Sekolah
Kegiatan Belajar 1
Standar
Pelayanan Minimal Pengelolaan Pendidikan
Kalau MBS ditujuan untuk efektivitas (mutu) dan efisiensi
pengelolaan serta akuntabilitasnya kepada berbagai stake-holders maka Standar
Pelayanan Miniman (SPM) menjadi permasalahan pokok dalam pencapaian
kualitasnya. Sekolah tidak bisa bicara banyak tentang mutu atau menagih hasil
pendidikan yang bermutu tanpa pemenuhan Standar Pelayanan Minimal.
Pasal 34, ayat (2) Undang-undang No.20 Tahun 2003
mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya
wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Sementara Pasal 51, ayat (1) dari Undang-undang di atas menyatakan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Sebagai wujud dan keinginan seperti pada pasal-pasal di
atas, Menteri Pendidikan Nasional, dua tahun sebelum lahirnya Undnag-undang
Sistem Pendidikan Nasional di atas, telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor
035IU/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan
Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan Standar Pelayanan Minimal itu
diharapkan agar daerah Kabupaten dan daerah kota dapat melaksanakan kewenangan
dibidang pendidikan sebagaimana yangg diharapkan.
Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan
Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut SPM Persekolahan
Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah adalah spesifikasi teknis sebagai patokan
pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh daerah kabupaten dan daerahh kota
dalam menyelenggarakan kegiatan persekolahan dibidang pendidikan dasar dan
menengah.
Pedoman penyusunan SPM Persekolahan Bidang Pendidikan
Dasar dan Menengah bertujuan untuk memberikan acuan kepada provinsi berkenaan
dengan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh daerah kabupaten dan daerah
kota agar penyelenggaraan kegiatan pelayanan persekolahan kepada masyarakat
dibidang pendidikan dasar dan menengah dapat mencapai hasil sesuai indikator
yang ditentukan.
Kegiatan persekolahan dibidang pendidikan dasar dan
menengah seagaimana dimaksudkan ayat (1), meliputi hal-hal berikut :
1.
Taman Kanak-kanak (TKK)
2.
Sekolah Dasar (SD)
3.
Sekolah Menengah Pertama (SMP)
4.
Sekolah Menengah Umum (SMU)
5.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
6.
Pendidikan Luar Biasa (PLB)
Standar
Pelayanan Minimal Persekolahan bidang Pendidikan Dasar dan Menengah
sekurang-kurangnya memuat dasar hukum, tujuan, standar kompetensi,
kurikulum/program kegiatan belajar, peserta didik, ketenagaan, sarana dan
prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, manajemen sekolah,
dan indikator keberhasilan.
Daerah dapat mengembangkan dan/atau
menambah sistematika dan substansi SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
pedoman SPM sebagaimana di maksud dalam ayat (2), sesuai dengan potensi,
tuntutan, dan perkembangan daerah yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan dasar dan menengah.
A. Tujuan
Penyelenggaraan (Sekolah Menengah Pertama)
Sekolah
Menengah Pertama (SMP) bertujuan memberikan kemampuan dasar yang merupakan
perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD,
untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga
negara sesuai dengan perkembangannya serta mempersiapkan siswa untuk hidup
dalam masyarakat dan/atau mengikuti pendidikan menengah.
B. Standarr
Kompetensi Siswa
Standar
kompetensi siswa berisi tentang kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa.
Khususnya untuk siswa SMP diharapkan mereka memiliki hal-hal berikut :
1. Akhlak
dan budi pekerti yang luhur.
2. Pengetahuan
dan keterampilan dasar sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
3. Kecerdasan
dan kebugaran, apresiasi seni, dan dasar-dasar olahraga sesuai bakat dan
minatnya.
4. Kemampuan
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
C. Kurikulum
Kurikulum
merupakan rancangan kegiatan dan pengalaman yang akan diberikan sekolah kepada
siswa. Oleh karena itu, kurikulum memuat (1) Susunan Program Pengajaran, yaitu
mata pelajaran yang akan diajarkan sekolah kepada siswa, (2) Materi pengajaran,
(3) Strategi belajar Mengajar, (4) Bahasa pengantar, (5) Penilaian, dan (6)
Bimbingan belajar.
D. Anak
Didik
Beberapa
hal yyang perlu diperhatikan dalam hal anak didik ini diantaranya adalah (1)
Daya tampung siswa, (2) Persyaratan sebagai siswa, (3) pakaian siswa, (4) Unit
Kegiatan Siswa
E. Ketenagaan
Ketenagaan
di sekolah mencakup jenis ketenagaan yang minimal harus ada di sekolah, seperti
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha, guru mata pelajaran,
guru pembimbing, laboran, pustakawan. Di samping itu, harus pula diperhatikan
persyaratan-persyaratan yang harus dipbuhi untuk menduduki jabatan-jabatan
tersebut di atas dan jam wajib tugas atau mengajar.
F. Sarana
dan Prasarana
Sarana
dan prasarana sekolah yang harus menjadi pertimbangan minimal dalam
penyelenggaraan sekolah adalah berkaitan dengan lahan dan ruang, seperti ruang
pendidikan dan pengajaran (kelas, laboratorium, ruang kesenian) ruang
administrasi, ruang penunjang (ibadah, koperasi, OSIS, Serba Guna) perabot,
alat dan media pendidikan, serta ketersediaan buku pelajaran dan bacaan.
G. Organisasi
Sekolah
dipersyaratkan mempunyai susunan organisasi, misalnya untuk SMP terdiri atas
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha sekolah, unit
laboratorium, unit perpustakaan, dewan guru.
H. Pembiayaan
1. Sumber
Pembiayaan
Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
dapat bersumber dari :
a. Pemerintah
daerah, yang menyediakan anggaran bagi SMP negeri dan swasta;
b. Dana
masyarakat termasuk dana dari orang tua/masyarakat/dunia usaha diupayakan untuk
membiayai peningkatan mutu program pengayaan dan program khusus yang disepakati
orang tua;
c. Sumber
lainnya, misalnya hibah, pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Komponen
Pembiayaan
Komponen yang perlu dibiayai, antara
lain berikut ini
a. Kegiatan
teknis edukatif untuk proses belajar mengajar (kurikuler dan kegiatan evaluasi
belajar)
b. Kegiatan
penunjang untuk operasionalisasi ruang belajar dan kegiatan ekstrakurikuler.
c. Perawatan
sarana pendidikan (gedung, perabot, alat peraga, dan media)
d. Perawatan
kegiatan penunjang (lingkungan sekolah)
e. Kesejahteraan
guru dan pegawai sekolah (gaji kelebihan jam mengajar, insentif, perjalanan)
f. Langganan
daya dan jasa (listrik, telepon, air, dan lain-lain)
g. Program
khusus yang mengacu pada kegiatan peningkatan mutu sekolah yang bersangkutan.
3. Satuan
Pembiayaan
Satuan biaya dapat
dihitung berdasarkan satuan biaya satuan tetap (fixed cost) pada satuan sekolah
per tahun dengan standar biaya yang sama dan biaya satuan tidak tetap (variabel
cost) yang dihitung berdasarkan jumlah siswa, lokasi sekolah dan program kegiatan
sekolah sesuai dengan jenis dan komponen pembiayaan yang relevan.
4. Penentuan
Pembiayaan
Penentuan biaya yang
dibebankan pada masyarakat/orang tua ditentukan berdasarkan persetujuan
pemerintah daerah atas usul dari kepala sekolah ersama Badan Peran serta
Masyarakat/Komite Sekolah/BP3
5. Pengelolaan
Pembayaran
Pengelolaan pembiayaan
pendidikan dilakukan secara transparan dan dipertanggungjawabkan penggunaannya
setiap tahun kepada badan peran serta masyarakat (komite sekolah/BP3/dewan
sekolah dan pemerintah daerah).
6. Rencana
Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Setiap tahun pendidikan
wajib menyusun RAPBS. Dalam penyusuunan RAPBS melibatkan stakeholders (BP3,
tokoh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap sekolah).
Sumbe-sumber pembiayaan sifatnya transparan dan akuntabilitas.
7. Pemeriksaan
Pembiayaan (Auditing)
Setiap pemasukkan dan
pengeluaran diaudit secara tertib dan teratur.
8. Pelaporan
Setiap pelaporan
dilaksanakan secara tertib dan teratur.
I. Peran
Serta Masyarakat
Peran
serta masyarakat diperlukan agar kondisi sekolah dapat memenuhi
sekurang-kurangnya standar minimal dan peningkatan mutu pendidikan dapat
dicapai. Pada setiap sekolah dapat dibentuk organisasi, seperti Badan Peran
Serta Masyarakat/Komite Sekolah/BP3 atau organisasi lain yang mempunyai tujuan
sebagai berikut ;
1. Membantu
kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah
2. Memelihara,
meningkatkan, dan mengembangkan sekolah
3. Memantau,
mengawasi, dan mengevaluasi penye;enggaraan pendidikan di sekolah.
J. Manajemen
Sekolah
1. Setiap
SMP menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Dalam sistem ini kepala sekolah bersama
dewan guru dan warga belajar lainnya secara mandiri, transparan, serta
bertanggung jawab melaksanakan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan target
mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan smeua pihak yang erkepentingan
terhadap pendidikan di sekolah yang bersangkutan (stakeholders pendidikan)
2. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka setiap sekolah :
a. Merumuskan
visi, misi, dan target mutu
b. Merencanakan
program sekolah
c. Melaksanakan
program yang telah ditetapkan
d. Memonitor
dan mengevaluasi pelaksanaan program
e. Merumuskan
target mutu baru
f. Melaporkan
kemajuan yang dicapai kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah
(stakeholders pendidikan)
3. Untuk
mengawasi tercapainya program maka dilakukan kontrol melalui :
a. Pemantauan
dan pengawasan internal dan eksternal
b. Transparansi
manajemen
c. Akuntabilitas
publik
4. Penilaian
sekolah
Penilaian sekolah dilakukan untuk
mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan,
pelaksanaan kurikulum, dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan.
Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah pusat), lokal (pemerintah
daerah), sekolah (penilaian diri sendiri) sesuai dengan tujuan dan lingkupnya.
K. Indikator
Keberhasilan
Untuk
mengetahui apakah Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini telah diterapkan dengan
baik dan benar, diperlukan suatu indikator keberhasilan. Dalam indikator
keberhasilan ini tertuang berbagai indikator dan ukuran ketercapaian minimal
sesuai komponen yang ada di dalam SPM.
Indikator
keberhasilan tersebut secara terperinci sebagaimana tertuang pada matriks
berikut :
Matriks
Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Sekolah
Menengah Pertama
No.
|
Komponen SPM
|
Indikator
|
Ketercapaian
Minimal
|
Kewenangan
|
||||
P
|
PR
|
K
|
S
|
|||||
1.
|
Kurikulum
|
|
Ketersediaan
kurikulum nasional
|
Ada
|
√
|
|
|
|
|
Tersebarnya
kurikulum lokal
|
Ada
|
|
√
|
√
|
√
|
||
|
Keterlaksanaan
kurikulum nasional
|
Sesuai
|
|
|
|
√
|
||
|
Keterlaksanaan
kurikulum lokal
|
Sesuai
|
|
|
|
√
|
||
|
% daya serap
kurikulum nasional
|
75%
|
|
|
|
|
||
|
% daya serap
kurikulum lokal
|
80%
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||
2.
|
Anak Didik
|
|
Angka
Partisipasi Kasar (APK)
|
Meningkat
|
|
|
|
√
|
|
Angka
Partisipasi Murni (APM)
|
Meningkat
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||
|
Angka
Pendaftaran Siswa
|
Meningkat
|
√
|
√
|
√
|
√
|
||
|
Angka Putus
Sekolah (APS)
|
Menurun
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Angka
Mengulang Kelas (AMK)
|
Menurun
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Kelangsungan
Belajar (Survival Rate)
|
Meningkat
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Persentasi
Kelulusan
|
90%
|
|
|
|
√
|
||
3.
|
Ketenagaan
|
|
Kinerja Kepala
Sekolah
|
Baik
|
|
√
|
√
|
√
|
|
Persentasi
Guru Berkualifikasi
|
60%
|
|
√
|
√
|
√
|
||
|
Persentasi
Guru Berkeahlian
|
60%
|
|
|
√
|
√
|
||
|
|
|
Rasio Guru
dengan Siswa
|
1 : 28
|
|
|
√
|
√
|
4.
|
Sarana dan
Prasarana
|
|
Lahan
|
Cukup
|
|
|
√
|
√
|
|
Bangunan
|
Lengkap
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Perabot
|
Lengkap
|
|
|
√
|
√
|
||
|
|
|
Peralatan/Lab/Media
|
|
|
|
|
|
|
Rasio Buku
Teks dengan Siswa
|
1 : 02
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Sarana
Olahraga
|
Lengkap
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Infrastruktur
|
Lengkap
|
|
|
|
|
||
5.
|
Organisasi
|
|
Struktur
Organisasi
|
Ada
|
|
|
|
√
|
|
Personalia
|
Ada
|
|
|
|
√
|
||
|
Uraian Tugas
|
Ada
|
|
|
|
√
|
||
|
Mekanisme
Kerja
|
Baik/Lancar
|
|
|
|
√
|
||
6.
|
Pembiayaan
|
|
Anggaran Pemerintah
|
Ada
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
Anggaran
Swadaya
|
Ada
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Komponen yang
Dibiayai
|
Seluruhnya
|
|
√
|
√
|
√
|
||
7.
|
Manajemen
Sekolah
|
|
Pemahaman Visi dan Misi Sekolah
|
Baik
|
|
|
|
√
|
|
Tingkat Kehadiran Guru
|
90%
|
|
|
|
√
|
||
|
Tingkat Kehadiran Tenaga Administrasi
|
90%
|
|
|
|
√
|
||
|
Tingkat Kegadiran Tenaga Lainnya
|
90%
|
|
|
|
√
|
||
|
Tingkat Kehadiran Siswa
|
90%
|
|
|
|
√
|
||
|
Tertib Administrasi
|
Lengkap
|
|
|
|
√
|
||
|
Kinerja Sekolah
|
Baik
|
|
|
|
√
|
||
8.
|
Peran Serta
Masyarakat
|
|
Peran Serta Masyarakat/Komite/BP3
|
Ada
|
|
|
|
√
|
|
Perhatian
Orang Tua
|
Ada
|
|
|
|
√
|
||
|
Perhatian
Tokoh Masyarakat
|
Ada
|
|
|
√
|
√
|
||
|
Peran Serta
Dunia Usaha
|
Ada
|
|
|
√
|
√
|
Keterangan
:
P : Pemerintah Pusat
PR : Pemerintah Provinsi
K : Pemerintah Kabupaten/Kota
S : Sekolah
Kegiatan Belajar 2
Mempersiapkan
Komponen Pendukung
Manajemen
Berbasis Sekolah
Sebagian pihak/orang
ada yang menyederhanakan persoalan bahwa apabila suatu sekolah sudah diberi
sosialisasi atau sekedar grant atau dana hibah artinya sekolah sudah menerapkan
Manajemen Berbasis Sekolah. Bahkan ada yang beranggapan sesudah menyampaikan
sosialisasi tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, MBS sudah diterapkan.
Di sisi lain, asal memberikan tugas yang menyebabkan sekolah harus mengambil
resiko dan tanggung jawab sendiri. Hal itu dikemukakan sebagai argumen atau
alasan dalam rangka MBS atau sesuai dengan MBS. Meskipun hal itu tidak salah,
informasi atau sosialisasi yang sepotong-sepotong itu menyebabkan persepsi yang
keliru terhadap Manajemen Berbasis Sekolah.
Singkatnya, menyiapkan
sekolah untuk melaksanakan MBS harus merupakan satu paket sosialisasi dengan
memperhatikan hubungan antar elemen terkait dalam manajemen sekolah sesuai
kaidah MBS. Kalau tidak demikian, akan timbul banyak salah paham diantara
pelaksana dan birokrasi sebagai bagian dari sistem yang mendukung.
Dari pengamatan
pelaksanaan MBS yang belum seutuhnya, terdapat tiga masalah penting yaitu
pertama, kesiapan personel yang melaksanakan dan terlibat dalam pelaksanaan,
khususnya peruahan sikap (kesulitan mengubah sikap yang sudah membudaya),
termasuk sikap yang berlebihan. Kedua, kepastian pendanaan yang dikelola
sekolah. Ketiga, kurang dipahaminya sistem penyelenggaraan dan pengelolaan
sekolah secara utuh. Oleh karena itu, 3 hal tersebut menjadi sorotan penting
didalam mempersiapkan pelaksanaan MBS, baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
A. Peningkatan
Kemampuan Personel
Manajemen Berbasis
Sekolah bukan sekedar memerlukan kewenangan yang lebih luas, tetapi dibalik itu
mensyaratkan kemandirian orang-orang yang terlibat di dalam pengelolaan satuan pendidikan
tersebut (Kepala Sekolah, guru dan staf, serta komite sekolah). Kemandirian
dapat terjadi kalau yang bersangkutan mempunyai andalan yang membuat ia percaya
diri. Seseornag akan percaya diri kalau ia profesional (memiliki karakter
tertentu dan kompetensi; bukan percaya diri dalam pengertian sehari-hari). Dari
argumen ini, sebenarnya jelas bahwa tidak semua sekolah dapat melaksanakan MBS
dengan baik. Untuk meningkatkan kemampuan personel dalam mendukung MBS ada
beberapa kegiatan yang dapat dilakukan.
1. Training-Workshop
Manajemen pola MBS
Penerapan MBS
memerlukan praktik kepemimpinan kolektif, kolaboratif, dan partisipasif. Kepala
sekolah yang biasanya tinggal melaksanakan petunjuk dari birokrasi di atasnya
dan dapat memutuskan sendiri apa yang dia mau sesuai instruksi, pada era MBS
kepala sekolah harus mengambil inisiatif, kreatif, dan dalam mengambil
keputusan strategis di sekolah harusnya mendengarkan atau mempertimbangkan
saran para guru dan Komite Sekolah. Ini adalah suatu perubahan yang harus disikapi
secara legowo (lapang dada), sikap terbuka, pikiran jernih, dan profesional.
Mengahadapi Komite Sekolah yang sudah tahu hak-haknya tidak mudah, dan
terkadang memerlukan perdebatan, apalagi kalau Komite yang bersangkutan
cenderung over-acting atau kebetulan aktivis yang shock lebih tahu. Apabila
kepala sekolah tidak sabar dan profesional maka justru akan timbul masalah
baru. Sebaliknya, kalau yang duduk di komite sekolah adalah orang-orang
profesional dan mempunyai integritas, kepala sekolah juga tidak boleh merasa
lebih tahu segala-galanya, termasuk masalah pendidikan. Pendeknya, kepala
sekolah harus menjaga harmoni hubungan antara komite sekolah, guru/staf, untuk
bersama-sama memikirkan pendidikan yang baik dan secara bertahap meningkatkan
mutu pendidikan pada sekolah yang dikelola bersama.
Dari alasan di atas
maka perlu ada workshop-training bersama, yang diikuti kepala sekolah, wakil
guru senior dan pengurus komite sekolah secara bersama-sama mewakili sekolah.
Training-workshop yang diikuti ketiga pihak tersebut dimaksud untuk simulasi
kepemimpinan kolektif antara mereka. Salah satu materi workshop, antara lain
adalah perencanaan sekolah yang berwawasan mutu. Sementara workshop yang lebih
operasional dan riel harus dilakukan di sekolah masing-masing dan diikuti oleh
seluruh guru/staf, dan seluruh anggota komite sekolah, di bawah
pimpinan/tanggung jawab kepala sekolah, pada umumnya training berisi
dasar-dasar konsep MBS, dasar-dasar kebijakkan/hukum, pengalaman praktik, dan
model pelaksanaan MBS dalam kerangka Sisdiknas yang berorientasi pada mutu.
Workshop-training ini dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota.
Di samping peserta yang
mewakili setiap satuan pendidikan yang diundang perlu diikutsertakan para
pengawas sekolah sehingga dalam melaksanakan tugas kepengawasan mereka akan
menyesuaikan dengan peran baru yang berbeda dari sebelumnya. Peran pengawas
gaya lama lebih bersifat birokratik, yang melakukan pengecekkan terhadap
pelaksanaan berbagai aturan, juklak, juknis, sedangkan peran baru lebih
bersifat klinis, membimbing, dan memberikan asistensi yang diperlukan, serta
turut membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh pihak sekolah. Di dalam workshop, kelompok pengawas
harus merumuskan peran baru mereka yang mendukung keberhasilan MBS.
2. Training
Kemampuan Profesional Guru/Tenaga Kependidikan
Kemampuan guru untuk
mandiri sesuai tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan bagian penting
dalam pelaksanaan MBS. Dalam hubungan ini training KBK hendaknya terintegrasi
(terkoordinasi), dengan mendahulukan sekolah yang melaksanakan MBS sehingga
merupakan gerakkan yang kompak. Persoalannya, KBK akan berjalan lancar kalau
didukung manajemen yang berpola MBS. Demikian pula training program Life
Skills, dan “pendekatan kontekstual” atau contextual learning (CTL) yang
merupakan implikasi MBS, dalam hal pembelajaran perlu dilatihkan sekaligus.
Dalam pelatihan guru,
ada dua kategori, yaitu yang bersifat remedial (memperbaiki kelemahan guru
terutama dalam penguasaan substansi/materi) dan pelatihan yang bersifat
fine-tuning atau penyegaran yang bertujuan memperkenalkan model-model
pembelajaran baru dan inovasi lainnya. Kedua model ini harus tetap mengacu pada
“kompetensi yang diharapkan”. Oleh karena itu, training untuk guru ke depan
harus bersifat Competence-Based Training atau pelatihan yang berbasis
kompetensi. Selesai pelatihan mereka harus benar-benar dapat melaksanakan tugas
secara profesional dan mandiri. Sementara itu, guru pendukung lainnya, seperti
guru bimbingan dan penyuluhan perlu dilatih bukan hanya menangani bimbingan dan
penyuluhan sebagai tugas pokoknya, tetapi juga dilatih dalam pengembangan
kultur sekolah melalui program penerapan aturan tata krama dan tata tertib
kehidupan sosial sekolah, serta program-program ekstrakurikuler dan pembinaan
minat (kesiswaan). Program-program ini sebagian besar juga bersifat
school-based dan kontekstual lingkungan setempat.
3. Training-Workshop
bagi Kelompok Kerja Pengembang dan Pendamping MBS
Idealnya, stiap
provinsi dan kabupaten/kota memiliki Kelompok Kerja Tetap “Pengembang dan
Pendamping” pelaksanaan MBS dan program-program terkait lainnya. Tugas mereka
yang utama adalah yang merintis MBS bagi sekolah yang baru mulai akan menerapkan,
dan memberi asistensi atau pendamping bagi yang sudah mulai melaksanakan MBS,
di samping memonitor perkembangan/kemajuan MBS di wilayah kerjanya.
Kelompok kerja ini
lebih kurang terdiri dari 10 orang untuk masing-masing provinsi atau
kabupaten/kota. Idealnya, kelompok kerja terdiri dari tenaga pengawas, staf
teknis, dan Kepala Sekolah yang potensial di lingkungan dinas yang
bersangkutan. Namun demikian, sekiranya diperlukan dapat meminta bantuan tenaga
dari Universitas/Perguruan Tinggi setempat yang relevan (outsourcing),
mengingat tenaga-tenaga potensial di kantor sering disibukkan oleh berbagai
masalah layanan administrasi. Adanya KKPP ini tidak dimaksudkan untuk
menempatkan sekolah beserta komitenya menjadi bawahan KKPP. Tugas mereka hanya
membantu dan memonitor kemajuan, dan kalau-kalau ada kesulitan mereka perlu
segera menolong pemecahannya. Inisiatif dan keputusan sekolah dengan dukungan
Komite tetap menjadi hal utama.
Kelompok kerja yang
terdiri dari orang-orang potensial ini perlu disiapkan, bukan hanya melalui
seleksi oleh Dinas Pendidikan yang bersangkutan, tetapi harus diberi
training-workshop tentang MBS dan implementasinya di sekolah. Diharapkan KKPP
ini menjadi agen/saluran teknis beragai pembaharuan yang dilakukan, dan dapat
dimobilisasikan oleh dinas setempat sesuai keperluan. Kelompok tersebut
merupakan penjamin teknis pelaksanaan MBS yang benar-benar dan berkelanjutan.
B. Pendanaan
Pendidikan Berbasis Sekolah
Salah satu elemen
penting dalam pelaksanaan MBS adalah pendanaan dalam bentuk hibah (grant)
langsung pada setiap sekolah, kemudian oleh sekolah yang bersangkutan dikelola
sendiri dengan melibatkan komite sekolah terutama dalam hal peruntukkannya.
Oleh karena itu, introduksi MBS oleh pemerintah dalam bentuk program rintisan
disertai dnegan dana hibah (bantuan, seperti BOMM dan beberapa grant lainnya)
merupakan langkah yang tepat.
Namun demikian, di
balik itu persoalan yang muncul adalah pertama, siapa yang dapat menjamin
bantuan hibah berjalan terus setiap tahun, sedangkan sekolah harus berjalan
terus. Kedua, ada jenis bantuan hibah untuk jenis program yang berbeda-beda
yang memungkinkan satu sekolah menerima lebih dari satu paket hibah (ada yang
secara resmi dibolehkan), sementara sebagian sekolah tidak menerima sama
sekali, padahal yang bersangkutan sangat memerlukan. Masalah ketiga, pemberian
bantuan hibah bersifat “pukul rata”, tidak memperhatikan besar kecilnya sekolah
(dari jumlah siswa) maupun kuat lemahnya sekolah (dari segi sosial ekonomi),
kecuali program beasiswa dan DBO-Jaring Pengaman Sosial yang ditujukan hanya
kepada kelompok miskin dan memperhatikan jumlah siswa yang tidak mampu.
Pendanaan MBS
diharapkan berlaku untuk semua sekolah bukan hanya sekolah yang secara sosial
ekonomi rendah juga sekolah yang normal dengan prinsip keadilan, tidak di bawah
garis kemiskinan, tetapi memerlukan untuk ertahan dan meningkatkan mutu.
Pengalokasian anggaran
langsung ke sekolah merupakan bagian penting dari penerapan MBS, bahkan di
negara – negara lain penamaan MBS atau School
Based Management banyak yang diberi ciri khusus dengan nama yang bersifat
finansial, seperti Financial Delegation,
Grant Maintined Schools and Local Management, Financial Deelegation and Localized Management, dan Local Butgetting and Community Involvement
(Umaedi, 2004).
Mengingat pentingnya
masalah pendanaan sekolah dalam rangka pelaksanaan MBS maka perlu dikaji
landasan hukum, dasar – dasar kebijakkan dalam menentukan pendanaan sekolah,
dan formula pendanaan sekolah yang memenuhi prinsip – prinsip persamaan,
keadilan, transparansi dan mendukung upaya peningkatan mutu.
1. Landasan
Hukum
Dalam undang – undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ketentuan mengenai Pendanaan
pendidikan diatur dalam Bab XIII, Pasal 46, 47, 48, dan 49, masing – masing
pasal berturut-turut mengatur tentang Tanggung jawab Pendanaan, Sumber
Pendanaan Pendidikan, Pengelolaan Dana Pendidikan, dan Pengalokasian Dana
Pendidikan. Di samping itu terdapat pula pasal – pasal lain di luar Bab XIII,
tetapu terkait dengan masalah pendanaan pendidikan.
a. Pasal
46, ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut.
1) Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dam masyarakat.
2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah bertanggung jawa menyediakan sebagaimana diatur dalam
pasal 31 ayat (4) Undang – undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Bunyi
Pasal 31 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 sesuai amandemen keempat tahun 202 adalah
sebagai berikut.
4) Negara
memprioritaskan anggarapan pendidikan sekurang – kurangnya dua puluh persen
dari anggarapan pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
b. Pasal
47, ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut.
1) Sumber
pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan.
2) Pemerintah,
Pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai
dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
c. Pasal
48, ayat (1) menyatakan sebagai berikut.
1) Pengelolaan
dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan. Efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas publik.
d. Pasal
49, yat (1), (2), (3), dan (4) menyatakan sebagai berikut
1) Dana
pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor
pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2) Gaji
guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dialokasikan
dalam Anggaran Pendapatan dan elanja Negara (APBN).
3) Dana
pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
4) Dana
pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk
hibah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Di
samping pasal – pasal yang merupakan bagian Bab XIII Pendanaan Pendidikan,
terdapat pasal lain yang menyangkut Wajib Belajar (Pasal 34) dan Pendidikan
Berbasis Masyarakat (Pasal 55) yang terkait dengan masalah pendanaan.
a. Pasal
34, ayat (2) menyebutkan sebagai berikut.
2) Pemerintah
dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
b. Pasal
55, ayat (2), (3), dan (4) berbunyi sebagai berikut.
2) Penyelenggara
pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan
evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
4) Lembaga
pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana,
dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
Ketentuan lebih lanjut
dan terperinci mengenai pasal – pasal tersebut dijanjikan akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah..
Beberapa pokok masalah
penting dari pasal – pasal yang berkaitan dengan pendanaan berbasis sekolah
tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pada jenjang
yang dikenakan wajib belajar (minimal pendidikan dasar), pendanaannya
ditanggung (dijamin) oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sehingga siswa tidak
dipungut biaya.
Kedua, pendanaan
pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah.
Ketiga, lembaga
pendidikan berbasis masyarakat (sekolah swasta) dapat meperoleh subsudi dana
secara adil dan merata dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Keempat, adanya prinsip
keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan dalam pemantauan sumber pendanaan
pendidikan, serta adanya prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas
dalam pengelolaan dana pendidikan (baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah
Daerah bagi sekolah).
Untuk melaksanakan
pesan pasal – pasal yang erkaitan dengan pendanaan tersebut perlu ada
kebijakkan pendanaan yang lebih operasional yang dapat menjamin setiap anak di
sekolah baik negeri maupun swasta memperoleh layanan pendidikan yang layak dan
adil karena itu perlu ada formula pendanaan sekolah yang jelas. Hanya dengan
kebijakkan pendanaan sekolah yang jelas, MBS akan dapat dijalankan secara nyata
dan semestinya.
2. Formula
Pendanaan Sekolah
Mengacu pada prinsip yang dikemukakan
sebelumnya, ada dua prinsip yaitu kecukupan dan keadilan yang perlu memperoleh
perhatian.
a. Prinsip
Kecukupan
Untuk menjamin prinsip
kecukupan dalam pendanaan sekolah perlu dilakukan perhitungan satuan biaya per
anak untuk setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis sekolah.
Cara lain untuk
menghitung kelayakkan biaya per siswa sekolah ialah dengan menjumlah penerimaan
sekolah baik yang berasal dari pemerintah maupun sumbangan orangtua dan
masyarakat pada sekolah sampel tersebut, kemudian dibagi dnegan jumlah murid
masing – masing sekolah. Total jumlah siswa pada suatu bentuk satuan pendidikan
dikalikan biaya satuan per anak menjadi kebutuhan operasional pendidikan untuk
suatu bentuk satuan dalam satu Kabupaten/Kota.
Dalam hal biaya
operasional satuan pendidikan dihitung tidak termasuk gaji guru maka bagi
sekolah negeri yang jumlah gurunya kurang dari jumlah yang seharusnya (baku),
misalnya 10 orang, tetapi baru ada 3 orang maka Pemerintah Daerah wajib
memberikan dana kepada sekolah untuk menggaji yang 7 orang itu sehingga sekolah
tersebut dapat berfungsi secara layak.
Penjelasan tentang
besarnya porsi biaya/pendanaan untuk gaji guru dan personel lainnya, dimaksud
untuk menunjukkan bertapa pentingnya guru, dan betapa beratnya sekolah yang
kekurangan guru untuk menanggung pendanaan kekurangan guru tersebut. Bagi
sekolah yang kekurangan guru, semestinya mereka memperoleh dana kompensasi
sebesar PNS guru – guru yang seharusnya ada sehingga sekolah yang bersangkutan
dapat membayar guru – guru pengganti sesuai kebutuhan.
b. Prinsip
Keadilan
Untuk memastikan bahwa setiap murid
memperoleh layanan pendidikan yang layak maka di samping satuan biaya per
siswa/murid dihitung secara layak, perlu memperhatikan unsur – unsur penentu
atau “variabel” yang merupakan ciri sasaran perhitungan. Unsur – unsur penentu
yang menjadi pertimbangan, antara lain sebagai berikut.
1) Jenis
dan bentuk satuan dan jenjang pendidikan, seperti TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MAK,
serta SLB/MLB, yang masing – maisng memiliki karakteristik keperluan pendanaan
yang berbeda, baik karena tuntutan kurikulum maupun karakteristik muridnya.
2) Pada
setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis yang sama, terdapat perbedaan :
a) Sekolah
besar dan kecil dari segi jumlah muridnya, yang menyebabkan kebutuhan pendanaan
yang berbeda.
b) Sekolah
kaya dan miskin, baik karena dukungan masyarakat atau sebaliknya. Anak – anak
keluarga miskin jangan sampai terlalu dirugikan layanan pendidikan di sekolah.
Kategori sekolah kaya miskin dapat
diperhalus menjadi tiga kategori, yaitu kuat, sedang, dan lemah yang disebabkan
oleh lingkungan masyarakatnya.
3) Biaya
minimal atau biaya tetap (fix-cost)
Biaya minimal perlu ditetapkan sesuai
syarat pendirian sekolah dan tuntutan kurikulum.
Disamping distribusi Dana Alokasi khusus
secara nasional yang masih membutuhkan perhatian khusus, distribusi untuk
masing – masing kabupaten/kota pun masih harus dilakukan dengan lebih hati –
hati. Hasil study Hadiyanto (2004) masih menunjukkan bahwa sebagian dana
rehabilitasi untuk sekolah yang lemah akhirnya masih ‘jatuh’ di sekolah yang
tergolong mapan.
4) Kombinasi
banyaknya murid dan status sosial ekonomi.
Perhitungan biaya tambahan tidak dapat
disamaratakan, mengingat ada sekolah yang secara sosial – ekonomi kuat, ada
yang sedang, dan ada yang lemah. Sedangkan yang lemah harus diberi dana per
murid lebih besar dari pada yang sedang, dan perhitungan tambahan biaya per
murid pada sekolah yang sedang harus lebih besar dari pada yang kuat.
3. Bantuan
Pendanaan bagi sekolah Swasta (Dikelola oleh Masyarakat)
Kalau diteliti kembali
pesan pasal 55, ayat (3) dan (4), terdapat dua hal penting, yaitu pertama, dana
penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat dapat berasal dari antara lain
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, kedua bahwa lembaga pendidikan berbasis
masyarakat dapat memperoleh subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan
merata dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
Perlu menjadi catatan
bahwa menurut Sisdiknas (UU No.20 Tahun 2003), sekolah – sekolah negeri yang
penyelenggaranya adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dapat menggalang
dana dari masyarakat (termasuk orang tua siswa), di sisi lain sekolah swasta
(yang diselenggarakan oleh masyarakat) dapat memperoleh subsidi dana dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah secara adil dan merata.
Hal yang sudah lama
ditunggu – tunggu oleh penyelenggara sekolah swasta adalah kepastian subsidi
secara adil dan transparan.
Dari pengamatan dan
data statistik sebagian besar sekolah swasta termasuk dalam kategori
sosial-ekonomi lemah, yang mencerminkan juga masyarakat pendukungnya yang
kebanyakkan dari ekonomi lemah. Kalau tidak ada kepastian kebijakkan bantuan
kepala sekolah swasta maka akan terjadi ketidakadilan berantai (multiple
deficiencies), yaitu anak – anak dari keluarga miskin di didik di sekolah yang
ala kadarnya baik guru maupun fasilitasnya dan mereka harus menanggung seluruh
biaya pendidikan. Sedangkan bagi anak lain yang ekonomiinya lebih baik justru
ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah. Golongan anak yang nasibnya
kurang beruntung ini banyak yang tersingkir dasi sekolah negeri karena adanya
berbagai model “seleksi”.
Kalau masalah
ketidakadilan seperti ini dibiarkan terus berjalan, kita seperti membiarkan
diskriminasi terselubung di bidang pendidikan karena kita sering mengemukakan
slogan – slogan yang membius, seperti pendidikan untuk semua, pendidikan
sepanjang hayat, skeolah negeri dan swasta mempunyai kedudukan yang sama dalam
sistem pendidikan nasional dan lain – lain, sedangkan sebenarnya anak – anak
miskin yang umumnya belajar di sekolah swasta mendapatkan layanan pendidikan
yang di bawah standar.
Oleh karena itu, perlu
kejelasan bantuan pendanaan (subsidi) kepada satuan pendidikan swasta yang adil
dan merata dalam bentuk kebijakan operasional yang tegas dan transparan,
mengingat hal ini merupakan pesan undang – undang. Apalagi untuk jenjang wajib
belajar pesan tersebut bahkan merupakan pesan konstitusi (UUD RI). Dengan
peruntukkan pendanaan pendidikan yang terbatas bagi sekolah swasta ditambah
dengan kebijakan yang formulanya tidak jelas, tidak tegas, dan kurang
transparan akan berakibat pada praktik negatif dan fitnah yang memojokkan
birokrasi itu sendiri, seperti tuduhan adanya deal tertentu, sistem teman,
permainan politik, permainan uang, dan lain – lain yang tidak sedap terdengar
yang sesungguhnya belum tentu benar terjadi. Akibat yang paling ridak baik
adalah ketidakpastian aturan main dalam subsidi kepada lembaga pendidikan
swasta turur menebar benih kecurigaan dan perpecahan karena yang berkembang
bukan kompetisi mutu, tetapi kompetisi kasak-kusuk.
Sebaliknya, aturan main
yang jelas dalam bentuk kebijakkan operasional subsidi kepada lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara adil dan merata memperkuat
pelaksanaan sisdiknas sesuai undang – undang. Kebijakkan seperti ini pada
gilirannya akan memenuhi tuntutan transparansi dan akuntabilitas yangg juga
merupakan ciri dari semangat UU No. 20 Tahun 2003.
4. Kenijakan
Makro dan Mezzo Pendanaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Secara makro
(nasional), orang sulit menemukan besarnya pendanaan pendidikan untuk sekolah
seluruh Indonesia. Hal ini terutama karena pendanaan pendidikan digunakan oleh
beberapa departemen yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Di dalam
lingkungan Depdiknas sendiri terdapat unit – unit utama, ada yang terlibat
langsung dalam pengelolaan pendidikan, ada yang keterlibatannya tidak langsung.
Belum lagi dana pendidikan yang sebagian sudah masuk dalam DAU (Dana Alokasi
Umum) bercampur dengan dana bidang/sektor lain yang pengelolaannya ditangani
oleh Pemerintah Daerah dengan proporsi yang tidak boleh ditentukan
persentasenya karena pemerintah daerah yang bersangkutan dianggap yang lebih
tahu kebutuhannya.
Dalam situasi pendanaan
pendidikan yang presentasinya masih sangat kecil terhadap APBN (kurang lebih
4%), sumber pendanaan disalurkan melalui anggaran rutin dan pembangunan.
Terdapat berbagai proyek pendidikan, ada yang berlingkup nasional dan
berlingkup regional.
Sebagian dari program –
program proyek dilakukan dengan memberikan grant (hibah) langsung ke sekolah
termasuk madrasah, sementara ada juga proyek – proyek yang programnya ditangani
sendiri karena sifatnya pembinaan dan pengembangan sistem, sosialisasi dan
sebaginya yang kegiatannya, antara lain berbentuk workshop, seminar, rapat
kerja, training, dan beragam sosialisasi kebijakkan baru atau berbagai
pembaruan pendidikan.
Hal pendanaan sekolah
sangat tergantung dari bagaimana sikap Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Bolanya ada pada kebijakan makro (pusat) dan mezzo (pemerintah daerah). Kalau
masalah ini tidak segera diperjelas maka smeua pembaharuan dengan berbagai
argumentasi yang tampaknya sevara teknis menjajikan tidak akan membuahkan hasil
yang memuaskan. Bahkan dapat terjadi yang disalahkan konsep dan sistemnya,
padahal masalahnya terdapat pada kesungguhan untuk melaksanakan semua elemen
secara konsisten. Dalam pelaksanaan MBS, elemen pendanaan berbasis sekolah
merupakan elemen yang sangat esensial.
Bagi berbagai pihak
yang selalu menginginkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan
akuntabilitas, model pendanaan pendidikan dengan “hibah” atau grant langsung ke
sekolah adalah sesuatu yang sangat menjanjikan. Dari sisi efektivitas
penggunaan dana, sekolah dapat menggunakan dana tersebut sesuai kebutuhan riel
masing – masing sekolah baik untuk pendanaan sarana penunjang proses belajar
maupun kegiatan operasional pendukung program pendidikan di sekolah. Dengan
dmeikian, tidak terjadi lagi alat-alat atau buku kiriman pemerintah yang
menumpuk tidak digunakan karena sekolah menganggap barang-barang tersebut tidak
relevan atau tidak diperlukan. Dari sisi efiensi, di samping sekolah hanya
mengadakan sesuatu atau melakukan kegiatan (sesuai kebutuhan), realisasi
kegiatan yang memerlukan biaya cepat dapat dilakukan, dan kontrol langsung
dapat terjadi pada setiap sekolah oleh orangtua dan masyarakat melalui Komite
Sekolah. Dengan model pendanaan ini tidak terjadi konsentrasi anggaran yang
miliaran rupiah, tidak ada tender yang memakan waktu berbulan – bulan terkadang
harus diulang dan seterusnya, kesempatan penyimpangan pun menjadi kecil. Yang
penting juga terjadi penyebaran anggaran pembangunan dan rutin yang merata ke
seluruh pelosok, yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di pusat dan kota-kota.
Sementara dari sisi teknis edukatif skema pendanaan berbasis sekolah dapat
menjamin pelaksanaan MBS, dan mendorong adanya inisiatif dan krretaivitas
sekolah untuk merancang dan melaksanakan
upaya peningkatan mutu dengan berbagai pembaruan yang diperkenalkan. Model ini
juga menggerakkan antusiasme masyarakat untuk turut berpartisipasi dan peduli
pada pendidikan di lingkungan masing-masing.
C. REORIENTASI
KEPENGAWASAN SEKOLAH, LEMBAGA TRAINING GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SERTA
PENGATURAN SARANA DAN MONITORING.
Untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan atau implementasi MBS, dalam pandangan Umaedi
(2004) pemerintah perlu melakukan reorientasi terhadap praktik – praktik yang
ada selama ini, yaitu mencakup masalah kepengawasan sekolah, Lembaga training
guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengaturan sarana dan prasaran serta
pelaksanaan monitoring kegiatan.
1. Kepengawasan.
Kepengawasan sekolah
dalam konteks MBS sangat berbeda dengan kepengawasan yang selama ini dipahami
masyarakat umum. Kalau sebelumnya pengawas sekolah bertugas mengecek sejauh
mana berbagai aturan, juklak, dan juknis, serta edaran dari pusat dilaksanakan
di sekolah maka dalam Sisdiknas yang menekankan MBS, peran mereka akan berbeda.
Mereka perlu tahu bahwa sekolah bukan hanya sekedar menjabarkan petunjuk dari
pusat, tetapi jsutru harus memiliki inisiatif dan kreativitas. Sekolah tidak
bekerja sendiri melainkan melibatkan masyarakat dan orang tua dalam merancang,
melaksanakan, dan memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, perlu
perumusan kembali peran kepengawasan. Perubahan ini bukan hanya masalah
yuridis, tetapi juga sikap dan profesionalismenya.
Tugas kepengawasan
menurut Sisdiknas menjadi tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dewan
pendidikan, dan Komite Sekolah. Kalau pengawas sekolah, dalam hal ini berfungsi
sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Daerah, mereka juga harus berkoordinasi
dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dan justru dalam era transparansi,
seperti sekarang ini peran lembaga yang mewakili masyarakat sering dianggap
lebih sredible (dipercaya). Di samping itu pada setiap Pemerintah daerah,
sepanjang berkaitan dnegan pengawasan administratif sudah ada Bawasda yang
tugasnya melakukan pengawasan pada semua satuan kerja di lingkungan Pemda. Oleh
karena itu, kepengawasan sekolah harus jelas bidang tugasnya.
Kalau peran
kepengawasan sekolah fokusnya akan lebih ditujukan pada masalah teknis edukatif
dan teknis managerial maka peran para pengawas sekolah lebih pada fungsi
evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,
dalam hal ini juga merupakan kepanjangan tangan dari Pemeirntah daerah, dan
belum jelas apanya yang dievaluasi secara terperinci.
Dalam pola MBS, hak
guru dan tenaga kependidikan sebagai profesional mandiri sangat ditekankan.
Oleh karena itu, fungsi pengawas sekolah kalau akan diefetifkan untuk membantu
profesionalisme guru dan tenaga kependidikan dalam praktik, perlu dirumuskan
kembali.
2. Lembaga
Pelatihan Guru dan Tenaga Kependidikan
Lembaga pelatihan guru
dan tenaga kependidikan yang selama ini seolah lebih tahu akan kebutuhan,
kemampuan, dan kelemahan guru dari pada sekolah dan guru itu sendirisehingga
guru meneriman apa pun yang dilatihkan dan kapanpun untuk memenuhi undangan
pelatihan, pada masa mendatang lembaga ini harus bersikap melayani dan
menyediakan apa yang diperlukan oleh guru dan tenaga kependidikan untuk
meningkatkan kompetensi mereka. Dengan kata lain, lembaga ini yang semula
bersikap supply driven perlu berubah menjadi demand driven.
Lembaga pelatihan harus
menawarkan berbagai program dan paket-paket pelatihan kepala sekolah, serta
sekolah akan memilih dan mendaftar masuk pelatihan kalau mereka merasa
memerlukan dan bermanfaat. Dana untuk pelatihan diberikan kepada sekolah
sebagai bagian grant untuk berbagai keperluan yang penggunaannya ditentukan
oleh sekolah. Dana yang diperuntukkan pada lembaga pelatihan yang formal
terutama untuk menyusun berbagai program, paket, silabus, dan pengembangan
materi dan sejenisnya untuk pelaksanaan pelatihan sekolah yang mendaftar harus
membayar dengan dana sekolah.
Meskipun ada lembaga –
lembaga yang tugas pokoknya melaksanakan pelatihan, tetapi sekolah yang
melaksanakan MBS memiliki kebebasan untuk memilih lembaga/instansi mana tempat
mereka “membeli” pelatihan yang sesuai kebutuhan mereka, bahkan lembaga swasta
sekalipun. Sekolah juga melakukan kerja sama dengan instansi mana pun yang
mereka pilih dalam rangka staff development.
Berkaitan dengan
hal-hal tersbeut lembaga-lembaga pelatihan guru dan tenaga kependidikan perlu
melakukan reorientasi dan refungsionalisasi dirinya.
3. Pengaturan
Kembali Kebijakkan Pengadaan Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengadaan/penyediaan
sarana dan prasarana pendidikan yang semula dilakukan secara terkonsentrasi bai
di pusat maupun di daerah perlu diatur ulang. Jenis-jenis sarana dan prasaran
yang pengadaannya dapat dilakukan oleh skeolah perlu diserahkan
tanggungjawabnya kepada skeolah. Bersama komite sekolah, mereka dapat
merencanakan kebutuhan, menilai, dan mengadakan sarana pendidikan sesuai
kebutuhan masing-masing, menggunakan dana hibah yang diterimanya.
Dalam hal ini, pelru
dipertegas apa-apa yang dapat diadakan oleh sekolah dan jenis sarana apa yang
pengadaannya perlu dipusatkan dan dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota.
Sementara untuk daerah-daerah sulit, terpencil atau sekolah di daerah bencana
dapat saja ditangani secara terpisah.
4. Monitoring
dan Evaluasi MBS
Sebagai suatu
pendekatan batu dalam pengelolaan pendidikan yang merupakan bagian dari Sisdiknas,
MBS masih perlu dikawal, dimantapkan pelaksanaannya, dan
disempunakan/diperbaiki secara terus-menerus berdasarkan kelemahan dan
kekurangan yang dialami. Hal ini untuk menghindari terjadinya kondisi
kontraproduktif yang disebabkan oleh kelalaian ataupun pelaksanaan yang tidak
sunggu-sungguh bahkan menyimpang dari konsep dan tujuan yang ingin dicapai.
Oleh karena itu, memonitoring dan evaluasi terhadap implementasi MBS perlu
dilakukan dalam rangka pemantapan sistem.
Sesuai tatanan
Sisdiknas dalam pelaksanaan MBS yang baik, unsur monitoring, evaluasi ataupun
pengawasan bersifat melekat karena pengelolaan pendidikan pada satuan
pendidikan adalah pengelolaan bersama antara unsur sekolah dan orangtua murid
serta masyarakat. Semikian pula pada tingkat Kabupaten/Kota ada Dewan
Pendidikan, dan seterusnya pada tingkat Provinsi juga direncanakan ada Dewan
Pendidikan. Dalam manajemen yang bersifat kolektif seperti itu, sebenarnya
diharapkan sudah ada saling mengawasi dan mengoreksi, serta saling memantau sehingga
semua pihak bertindak berdasarkan nilai-nilai kebaikan bersama dan rasional.
No comments:
Post a Comment