Thursday, April 6, 2017

RESUME MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) IDIK4012 MD3 KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENJAMIN MBS

Kebijakan Pemerintah Untuk Menjamin Manajemen Berbasis Sekolah

Kegiatan Belajar 1
Standar Pelayanan Minimal Pengelolaan Pendidikan
            Kalau MBS ditujuan untuk efektivitas (mutu) dan efisiensi pengelolaan serta akuntabilitasnya kepada berbagai stake-holders maka Standar Pelayanan Miniman (SPM) menjadi permasalahan pokok dalam pencapaian kualitasnya. Sekolah tidak bisa bicara banyak tentang mutu atau menagih hasil pendidikan yang bermutu tanpa pemenuhan Standar Pelayanan Minimal.
            Pasal 34, ayat (2) Undang-undang No.20 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Sementara Pasal 51, ayat (1) dari Undang-undang di atas menyatakan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
            Sebagai wujud dan keinginan seperti pada pasal-pasal di atas, Menteri Pendidikan Nasional, dua tahun sebelum lahirnya Undnag-undang Sistem Pendidikan Nasional di atas, telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 035IU/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan Standar Pelayanan Minimal itu diharapkan agar daerah Kabupaten dan daerah kota dapat melaksanakan kewenangan dibidang pendidikan sebagaimana yangg diharapkan.
            Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah yang selanjutnya disebut SPM Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah adalah spesifikasi teknis sebagai patokan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh daerah kabupaten dan daerahh kota dalam menyelenggarakan kegiatan persekolahan dibidang pendidikan dasar dan menengah.
            Pedoman penyusunan SPM Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah bertujuan untuk memberikan acuan kepada provinsi berkenaan dengan pelayanan minimal yang wajib dilakukan oleh daerah kabupaten dan daerah kota agar penyelenggaraan kegiatan pelayanan persekolahan kepada masyarakat dibidang pendidikan dasar dan menengah dapat mencapai hasil sesuai indikator yang ditentukan.
            Kegiatan persekolahan dibidang pendidikan dasar dan menengah seagaimana dimaksudkan ayat (1), meliputi hal-hal berikut :
Hasil gambar untuk standar pelayanan minimal pendidikan
   
1.      Taman Kanak-kanak (TKK)
2.      Sekolah Dasar (SD)
       3.      Sekolah Menengah Pertama (SMP)
       4.      Sekolah Menengah Umum (SMU)
       5.      Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
       6.      Pendidikan Luar Biasa (PLB)
                  Standar Pelayanan Minimal Persekolahan bidang Pendidikan Dasar dan Menengah sekurang-kurangnya memuat dasar hukum, tujuan, standar kompetensi, kurikulum/program kegiatan belajar, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, manajemen sekolah, dan indikator keberhasilan.
     Daerah dapat mengembangkan dan/atau menambah sistematika dan substansi SPM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman SPM sebagaimana di maksud dalam ayat (2), sesuai dengan potensi, tuntutan, dan perkembangan daerah yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah.

A.    Tujuan Penyelenggaraan (Sekolah Menengah Pertama)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) bertujuan memberikan kemampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD, untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara sesuai dengan perkembangannya serta mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakat dan/atau mengikuti pendidikan menengah.

B.     Standarr Kompetensi Siswa
Standar kompetensi siswa berisi tentang kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa. Khususnya untuk siswa SMP diharapkan mereka memiliki hal-hal berikut :
1.      Akhlak dan budi pekerti yang luhur.
2.      Pengetahuan dan keterampilan dasar sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
3.      Kecerdasan dan kebugaran, apresiasi seni, dan dasar-dasar olahraga sesuai bakat dan minatnya.
4.      Kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

C.     Kurikulum
Kurikulum merupakan rancangan kegiatan dan pengalaman yang akan diberikan sekolah kepada siswa. Oleh karena itu, kurikulum memuat (1) Susunan Program Pengajaran, yaitu mata pelajaran yang akan diajarkan sekolah kepada siswa, (2) Materi pengajaran, (3) Strategi belajar Mengajar, (4) Bahasa pengantar, (5) Penilaian, dan (6) Bimbingan belajar.

D.    Anak Didik
Beberapa hal yyang perlu diperhatikan dalam hal anak didik ini diantaranya adalah (1) Daya tampung siswa, (2) Persyaratan sebagai siswa, (3) pakaian siswa, (4) Unit Kegiatan Siswa

E.     Ketenagaan
Ketenagaan di sekolah mencakup jenis ketenagaan yang minimal harus ada di sekolah, seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha, guru mata pelajaran, guru pembimbing, laboran, pustakawan. Di samping itu, harus pula diperhatikan persyaratan-persyaratan yang harus dipbuhi untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut di atas dan jam wajib tugas atau mengajar.

F.      Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana sekolah yang harus menjadi pertimbangan minimal dalam penyelenggaraan sekolah adalah berkaitan dengan lahan dan ruang, seperti ruang pendidikan dan pengajaran (kelas, laboratorium, ruang kesenian) ruang administrasi, ruang penunjang (ibadah, koperasi, OSIS, Serba Guna) perabot, alat dan media pendidikan, serta ketersediaan buku pelajaran dan bacaan.

G.    Organisasi
Sekolah dipersyaratkan mempunyai susunan organisasi, misalnya untuk SMP terdiri atas kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan tata usaha sekolah, unit laboratorium, unit perpustakaan, dewan guru.

H.    Pembiayaan
1.    Sumber Pembiayaan
Pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dapat bersumber dari :
a.       Pemerintah daerah, yang menyediakan anggaran bagi SMP negeri dan swasta;
b.      Dana masyarakat termasuk dana dari orang tua/masyarakat/dunia usaha diupayakan untuk membiayai peningkatan mutu program pengayaan dan program khusus yang disepakati orang tua;
c.       Sumber lainnya, misalnya hibah, pinjaman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2.    Komponen Pembiayaan
Komponen yang perlu dibiayai, antara lain berikut ini
a.       Kegiatan teknis edukatif untuk proses belajar mengajar (kurikuler dan kegiatan evaluasi belajar)
b.      Kegiatan penunjang untuk operasionalisasi ruang belajar dan kegiatan ekstrakurikuler.
c.       Perawatan sarana pendidikan (gedung, perabot, alat peraga, dan media)
d.      Perawatan kegiatan penunjang (lingkungan sekolah)
e.       Kesejahteraan guru dan pegawai sekolah (gaji kelebihan jam mengajar, insentif, perjalanan)
f.       Langganan daya dan jasa (listrik, telepon, air, dan lain-lain)
g.      Program khusus yang mengacu pada kegiatan peningkatan mutu sekolah yang bersangkutan.

3.    Satuan Pembiayaan
Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan satuan biaya satuan tetap (fixed cost) pada satuan sekolah per tahun dengan standar biaya yang sama dan biaya satuan tidak tetap (variabel cost) yang dihitung berdasarkan jumlah siswa, lokasi sekolah dan program kegiatan sekolah sesuai dengan jenis dan komponen pembiayaan yang relevan.

4.    Penentuan Pembiayaan
Penentuan biaya yang dibebankan pada masyarakat/orang tua ditentukan berdasarkan persetujuan pemerintah daerah atas usul dari kepala sekolah ersama Badan Peran serta Masyarakat/Komite Sekolah/BP3

5.    Pengelolaan Pembayaran
Pengelolaan pembiayaan pendidikan dilakukan secara transparan dan dipertanggungjawabkan penggunaannya setiap tahun kepada badan peran serta masyarakat (komite sekolah/BP3/dewan sekolah dan pemerintah daerah).

6.    Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah (RAPBS)
Setiap tahun pendidikan wajib menyusun RAPBS. Dalam penyusuunan RAPBS melibatkan stakeholders (BP3, tokoh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan terhadap sekolah). Sumbe-sumber pembiayaan sifatnya transparan dan akuntabilitas.

7.    Pemeriksaan Pembiayaan (Auditing)
Setiap pemasukkan dan pengeluaran diaudit secara tertib dan teratur.

8.    Pelaporan
Setiap pelaporan dilaksanakan secara tertib dan teratur.

I.       Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat diperlukan agar kondisi sekolah dapat memenuhi sekurang-kurangnya standar minimal dan peningkatan mutu pendidikan dapat dicapai. Pada setiap sekolah dapat dibentuk organisasi, seperti Badan Peran Serta Masyarakat/Komite Sekolah/BP3 atau organisasi lain yang mempunyai tujuan sebagai berikut ;
1.      Membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah
2.      Memelihara, meningkatkan, dan mengembangkan sekolah
3.      Memantau, mengawasi, dan mengevaluasi penye;enggaraan pendidikan di sekolah.

J.       Manajemen Sekolah
1.      Setiap SMP menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah.
Dalam sistem ini kepala sekolah bersama dewan guru dan warga belajar lainnya secara mandiri, transparan, serta bertanggung jawab melaksanakan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan target mutu yang diamanatkan oleh masyarakat dan smeua pihak yang erkepentingan terhadap pendidikan di sekolah yang bersangkutan (stakeholders pendidikan)

2.      Untuk mencapai tujuan tersebut maka setiap sekolah :
a.       Merumuskan visi, misi, dan target mutu
b.      Merencanakan program sekolah
c.       Melaksanakan program yang telah ditetapkan
d.      Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program
e.       Merumuskan target mutu baru
f.       Melaporkan kemajuan yang dicapai kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah (stakeholders pendidikan)
3.      Untuk mengawasi tercapainya program maka dilakukan kontrol melalui :
a.       Pemantauan dan pengawasan internal dan eksternal
b.      Transparansi manajemen
c.       Akuntabilitas publik
4.      Penilaian sekolah
Penilaian sekolah dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan, pelaksanaan kurikulum, dan penilaian kinerja sekolah sebagai satu kesatuan. Penilaian sekolah dapat bersifat nasional (pemerintah pusat), lokal (pemerintah daerah), sekolah (penilaian diri sendiri) sesuai dengan tujuan dan lingkupnya.

K.    Indikator Keberhasilan
Untuk mengetahui apakah Standar Pelayanan Minimal (SPM) ini telah diterapkan dengan baik dan benar, diperlukan suatu indikator keberhasilan. Dalam indikator keberhasilan ini tertuang berbagai indikator dan ukuran ketercapaian minimal sesuai komponen yang ada di dalam SPM.
Indikator keberhasilan tersebut secara terperinci sebagaimana tertuang pada matriks berikut :

Matriks Indikator Keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama
No.
Komponen SPM
Indikator
Ketercapaian Minimal
Kewenangan
P
PR
K
S
1.
Kurikulum

Ketersediaan kurikulum nasional
Ada




Tersebarnya kurikulum lokal
Ada


Keterlaksanaan kurikulum nasional
Sesuai




Keterlaksanaan kurikulum lokal
Sesuai




% daya serap kurikulum nasional
75%





% daya serap kurikulum lokal
80%
2.
Anak Didik

Angka Partisipasi Kasar (APK)
Meningkat




Angka Partisipasi Murni (APM)
Meningkat

Angka Pendaftaran Siswa
Meningkat

Angka Putus Sekolah (APS)
Menurun



Angka Mengulang Kelas (AMK)
Menurun



Kelangsungan Belajar (Survival Rate)
Meningkat



Persentasi Kelulusan
90%



3.
Ketenagaan

Kinerja Kepala Sekolah
Baik


Persentasi Guru Berkualifikasi
60%


Persentasi Guru Berkeahlian
60%





Rasio Guru dengan Siswa
1 : 28


4.
Sarana dan Prasarana

Lahan
Cukup



Bangunan
Lengkap



Perabot
Lengkap





Peralatan/Lab/Media






Rasio Buku Teks dengan Siswa
1 : 02



Sarana Olahraga
Lengkap



Infrastruktur
Lengkap




5.
Organisasi

Struktur Organisasi
Ada




Personalia
Ada




Uraian Tugas
Ada




Mekanisme Kerja
Baik/Lancar



6.
Pembiayaan

Anggaran Pemerintah
Ada

Anggaran Swadaya
Ada



Komponen yang Dibiayai
Seluruhnya

7.
Manajemen Sekolah

Pemahaman Visi dan Misi Sekolah
Baik




Tingkat Kehadiran Guru
90%




Tingkat Kehadiran Tenaga Administrasi
90%




Tingkat Kegadiran Tenaga Lainnya
90%




Tingkat Kehadiran Siswa
90%




Tertib Administrasi
Lengkap




Kinerja Sekolah
Baik



8.
Peran Serta Masyarakat

Peran Serta Masyarakat/Komite/BP3
Ada




Perhatian Orang Tua
Ada




Perhatian Tokoh Masyarakat
Ada



Peran Serta Dunia Usaha
Ada



Keterangan :
P          : Pemerintah Pusat
PR       : Pemerintah Provinsi
K          : Pemerintah Kabupaten/Kota
S          : Sekolah



Kegiatan Belajar  2
Mempersiapkan Komponen Pendukung
Manajemen Berbasis Sekolah

Sebagian pihak/orang ada yang menyederhanakan persoalan bahwa apabila suatu sekolah sudah diberi sosialisasi atau sekedar grant atau dana hibah artinya sekolah sudah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah. Bahkan ada yang beranggapan sesudah menyampaikan sosialisasi tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, MBS sudah diterapkan. Di sisi lain, asal memberikan tugas yang menyebabkan sekolah harus mengambil resiko dan tanggung jawab sendiri. Hal itu dikemukakan sebagai argumen atau alasan dalam rangka MBS atau sesuai dengan MBS. Meskipun hal itu tidak salah, informasi atau sosialisasi yang sepotong-sepotong itu menyebabkan persepsi yang keliru terhadap Manajemen Berbasis Sekolah.
Singkatnya, menyiapkan sekolah untuk melaksanakan MBS harus merupakan satu paket sosialisasi dengan memperhatikan hubungan antar elemen terkait dalam manajemen sekolah sesuai kaidah MBS. Kalau tidak demikian, akan timbul banyak salah paham diantara pelaksana dan birokrasi sebagai bagian dari sistem yang mendukung.
Dari pengamatan pelaksanaan MBS yang belum seutuhnya, terdapat tiga masalah penting yaitu pertama, kesiapan personel yang melaksanakan dan terlibat dalam pelaksanaan, khususnya peruahan sikap (kesulitan mengubah sikap yang sudah membudaya), termasuk sikap yang berlebihan. Kedua, kepastian pendanaan yang dikelola sekolah. Ketiga, kurang dipahaminya sistem penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah secara utuh. Oleh karena itu, 3 hal tersebut menjadi sorotan penting didalam mempersiapkan pelaksanaan MBS, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

A.    Peningkatan Kemampuan Personel
Manajemen Berbasis Sekolah bukan sekedar memerlukan kewenangan yang lebih luas, tetapi dibalik itu mensyaratkan kemandirian orang-orang yang terlibat di dalam pengelolaan satuan pendidikan tersebut (Kepala Sekolah, guru dan staf, serta komite sekolah). Kemandirian dapat terjadi kalau yang bersangkutan mempunyai andalan yang membuat ia percaya diri. Seseornag akan percaya diri kalau ia profesional (memiliki karakter tertentu dan kompetensi; bukan percaya diri dalam pengertian sehari-hari). Dari argumen ini, sebenarnya jelas bahwa tidak semua sekolah dapat melaksanakan MBS dengan baik. Untuk meningkatkan kemampuan personel dalam mendukung MBS ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan.

1.      Training-Workshop Manajemen pola MBS
Penerapan MBS memerlukan praktik kepemimpinan kolektif, kolaboratif, dan partisipasif. Kepala sekolah yang biasanya tinggal melaksanakan petunjuk dari birokrasi di atasnya dan dapat memutuskan sendiri apa yang dia mau sesuai instruksi, pada era MBS kepala sekolah harus mengambil inisiatif, kreatif, dan dalam mengambil keputusan strategis di sekolah harusnya mendengarkan atau mempertimbangkan saran para guru dan Komite Sekolah. Ini adalah suatu perubahan yang harus disikapi secara legowo (lapang dada), sikap terbuka, pikiran jernih, dan profesional. Mengahadapi Komite Sekolah yang sudah tahu hak-haknya tidak mudah, dan terkadang memerlukan perdebatan, apalagi kalau Komite yang bersangkutan cenderung over-acting atau kebetulan aktivis yang shock lebih tahu. Apabila kepala sekolah tidak sabar dan profesional maka justru akan timbul masalah baru. Sebaliknya, kalau yang duduk di komite sekolah adalah orang-orang profesional dan mempunyai integritas, kepala sekolah juga tidak boleh merasa lebih tahu segala-galanya, termasuk masalah pendidikan. Pendeknya, kepala sekolah harus menjaga harmoni hubungan antara komite sekolah, guru/staf, untuk bersama-sama memikirkan pendidikan yang baik dan secara bertahap meningkatkan mutu pendidikan pada sekolah yang dikelola bersama.
Dari alasan di atas maka perlu ada workshop-training bersama, yang diikuti kepala sekolah, wakil guru senior dan pengurus komite sekolah secara bersama-sama mewakili sekolah. Training-workshop yang diikuti ketiga pihak tersebut dimaksud untuk simulasi kepemimpinan kolektif antara mereka. Salah satu materi workshop, antara lain adalah perencanaan sekolah yang berwawasan mutu. Sementara workshop yang lebih operasional dan riel harus dilakukan di sekolah masing-masing dan diikuti oleh seluruh guru/staf, dan seluruh anggota komite sekolah, di bawah pimpinan/tanggung jawab kepala sekolah, pada umumnya training berisi dasar-dasar konsep MBS, dasar-dasar kebijakkan/hukum, pengalaman praktik, dan model pelaksanaan MBS dalam kerangka Sisdiknas yang berorientasi pada mutu. Workshop-training ini dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota.
Di samping peserta yang mewakili setiap satuan pendidikan yang diundang perlu diikutsertakan para pengawas sekolah sehingga dalam melaksanakan tugas kepengawasan mereka akan menyesuaikan dengan peran baru yang berbeda dari sebelumnya. Peran pengawas gaya lama lebih bersifat birokratik, yang melakukan pengecekkan terhadap pelaksanaan berbagai aturan, juklak, juknis, sedangkan peran baru lebih bersifat klinis, membimbing, dan memberikan asistensi yang diperlukan, serta turut membantu pemecahan masalah yang dihadapi oleh pihak sekolah.          Di dalam workshop, kelompok pengawas harus merumuskan peran baru mereka yang mendukung keberhasilan MBS.

2.      Training Kemampuan Profesional Guru/Tenaga Kependidikan
Kemampuan guru untuk mandiri sesuai tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi, merupakan bagian penting dalam pelaksanaan MBS. Dalam hubungan ini training KBK hendaknya terintegrasi (terkoordinasi), dengan mendahulukan sekolah yang melaksanakan MBS sehingga merupakan gerakkan yang kompak. Persoalannya, KBK akan berjalan lancar kalau didukung manajemen yang berpola MBS. Demikian pula training program Life Skills, dan “pendekatan kontekstual” atau contextual learning (CTL) yang merupakan implikasi MBS, dalam hal pembelajaran perlu dilatihkan sekaligus.
Dalam pelatihan guru, ada dua kategori, yaitu yang bersifat remedial (memperbaiki kelemahan guru terutama dalam penguasaan substansi/materi) dan pelatihan yang bersifat fine-tuning atau penyegaran yang bertujuan memperkenalkan model-model pembelajaran baru dan inovasi lainnya. Kedua model ini harus tetap mengacu pada “kompetensi yang diharapkan”. Oleh karena itu, training untuk guru ke depan harus bersifat Competence-Based Training atau pelatihan yang berbasis kompetensi. Selesai pelatihan mereka harus benar-benar dapat melaksanakan tugas secara profesional dan mandiri. Sementara itu, guru pendukung lainnya, seperti guru bimbingan dan penyuluhan perlu dilatih bukan hanya menangani bimbingan dan penyuluhan sebagai tugas pokoknya, tetapi juga dilatih dalam pengembangan kultur sekolah melalui program penerapan aturan tata krama dan tata tertib kehidupan sosial sekolah, serta program-program ekstrakurikuler dan pembinaan minat (kesiswaan). Program-program ini sebagian besar juga bersifat school-based dan kontekstual lingkungan setempat.

3.      Training-Workshop bagi Kelompok Kerja Pengembang dan Pendamping MBS
Idealnya, stiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki Kelompok Kerja Tetap “Pengembang dan Pendamping” pelaksanaan MBS dan program-program terkait lainnya. Tugas mereka yang utama adalah yang merintis MBS bagi sekolah yang baru mulai akan menerapkan, dan memberi asistensi atau pendamping bagi yang sudah mulai melaksanakan MBS, di samping memonitor perkembangan/kemajuan MBS di wilayah kerjanya.
Kelompok kerja ini lebih kurang terdiri dari 10 orang untuk masing-masing provinsi atau kabupaten/kota. Idealnya, kelompok kerja terdiri dari tenaga pengawas, staf teknis, dan Kepala Sekolah yang potensial di lingkungan dinas yang bersangkutan. Namun demikian, sekiranya diperlukan dapat meminta bantuan tenaga dari Universitas/Perguruan Tinggi setempat yang relevan (outsourcing), mengingat tenaga-tenaga potensial di kantor sering disibukkan oleh berbagai masalah layanan administrasi. Adanya KKPP ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan sekolah beserta komitenya menjadi bawahan KKPP. Tugas mereka hanya membantu dan memonitor kemajuan, dan kalau-kalau ada kesulitan mereka perlu segera menolong pemecahannya. Inisiatif dan keputusan sekolah dengan dukungan Komite tetap menjadi hal utama.
Kelompok kerja yang terdiri dari orang-orang potensial ini perlu disiapkan, bukan hanya melalui seleksi oleh Dinas Pendidikan yang bersangkutan, tetapi harus diberi training-workshop tentang MBS dan implementasinya di sekolah. Diharapkan KKPP ini menjadi agen/saluran teknis beragai pembaharuan yang dilakukan, dan dapat dimobilisasikan oleh dinas setempat sesuai keperluan. Kelompok tersebut merupakan penjamin teknis pelaksanaan MBS yang benar-benar dan berkelanjutan.

B.     Pendanaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Salah satu elemen penting dalam pelaksanaan MBS adalah pendanaan dalam bentuk hibah (grant) langsung pada setiap sekolah, kemudian oleh sekolah yang bersangkutan dikelola sendiri dengan melibatkan komite sekolah terutama dalam hal peruntukkannya. Oleh karena itu, introduksi MBS oleh pemerintah dalam bentuk program rintisan disertai dnegan dana hibah (bantuan, seperti BOMM dan beberapa grant lainnya) merupakan langkah yang tepat.
Namun demikian, di balik itu persoalan yang muncul adalah pertama, siapa yang dapat menjamin bantuan hibah berjalan terus setiap tahun, sedangkan sekolah harus berjalan terus. Kedua, ada jenis bantuan hibah untuk jenis program yang berbeda-beda yang memungkinkan satu sekolah menerima lebih dari satu paket hibah (ada yang secara resmi dibolehkan), sementara sebagian sekolah tidak menerima sama sekali, padahal yang bersangkutan sangat memerlukan. Masalah ketiga, pemberian bantuan hibah bersifat “pukul rata”, tidak memperhatikan besar kecilnya sekolah (dari jumlah siswa) maupun kuat lemahnya sekolah (dari segi sosial ekonomi), kecuali program beasiswa dan DBO-Jaring Pengaman Sosial yang ditujukan hanya kepada kelompok miskin dan memperhatikan jumlah siswa yang tidak mampu.
Pendanaan MBS diharapkan berlaku untuk semua sekolah bukan hanya sekolah yang secara sosial ekonomi rendah juga sekolah yang normal dengan prinsip keadilan, tidak di bawah garis kemiskinan, tetapi memerlukan untuk ertahan dan meningkatkan mutu.
Pengalokasian anggaran langsung ke sekolah merupakan bagian penting dari penerapan MBS, bahkan di negara – negara lain penamaan MBS atau School Based Management banyak yang diberi ciri khusus dengan nama yang bersifat finansial, seperti Financial Delegation, Grant Maintined Schools and Local Management, Financial Deelegation and Localized Management, dan Local Butgetting and Community Involvement (Umaedi, 2004).
Mengingat pentingnya masalah pendanaan sekolah dalam rangka pelaksanaan MBS maka perlu dikaji landasan hukum, dasar – dasar kebijakkan dalam menentukan pendanaan sekolah, dan formula pendanaan sekolah yang memenuhi prinsip – prinsip persamaan, keadilan, transparansi dan mendukung upaya peningkatan mutu.
1.      Landasan Hukum
Dalam undang – undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ketentuan mengenai Pendanaan pendidikan diatur dalam Bab XIII, Pasal 46, 47, 48, dan 49, masing – masing pasal berturut-turut mengatur tentang Tanggung jawab Pendanaan, Sumber Pendanaan Pendidikan, Pengelolaan Dana Pendidikan, dan Pengalokasian Dana Pendidikan. Di samping itu terdapat pula pasal – pasal lain di luar Bab XIII, tetapu terkait dengan masalah pendanaan pendidikan.
a.       Pasal 46, ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut.
1)      Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dam masyarakat.
2)      Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawa menyediakan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang – undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Bunyi Pasal 31 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 sesuai amandemen keempat tahun 202 adalah sebagai berikut.
4)      Negara memprioritaskan anggarapan pendidikan sekurang – kurangnya dua puluh persen dari anggarapan pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
b.      Pasal 47, ayat (1) dan (2) menyatakan sebagai berikut.
1)      Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.
2)      Pemerintah, Pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
c.       Pasal 48, ayat (1) menyatakan sebagai berikut.
1)      Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan. Efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
d.      Pasal 49, yat (1), (2), (3), dan (4) menyatakan sebagai berikut
1)      Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2)      Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan elanja Negara (APBN).
3)      Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
4)      Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Di samping pasal – pasal yang merupakan bagian Bab XIII Pendanaan Pendidikan, terdapat pasal lain yang menyangkut Wajib Belajar (Pasal 34) dan Pendidikan Berbasis Masyarakat (Pasal 55) yang terkait dengan masalah pendanaan.
a.       Pasal 34, ayat (2) menyebutkan sebagai berikut.
2)      Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
b.      Pasal 55, ayat (2), (3), dan (4) berbunyi sebagai berikut.
2)      Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3)      Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
4)      Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Ketentuan lebih lanjut dan terperinci mengenai pasal – pasal tersebut dijanjikan akan diatur dalam Peraturan Pemerintah..
Beberapa pokok masalah penting dari pasal – pasal yang berkaitan dengan pendanaan berbasis sekolah tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pada jenjang yang dikenakan wajib belajar (minimal pendidikan dasar), pendanaannya ditanggung (dijamin) oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sehingga siswa tidak dipungut biaya.
Kedua, pendanaan pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah.
Ketiga, lembaga pendidikan berbasis masyarakat (sekolah swasta) dapat meperoleh subsudi dana secara adil dan merata dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Keempat, adanya prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan dalam pemantauan sumber pendanaan pendidikan, serta adanya prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan (baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bagi sekolah).
Untuk melaksanakan pesan pasal – pasal yang erkaitan dengan pendanaan tersebut perlu ada kebijakkan pendanaan yang lebih operasional yang dapat menjamin setiap anak di sekolah baik negeri maupun swasta memperoleh layanan pendidikan yang layak dan adil karena itu perlu ada formula pendanaan sekolah yang jelas. Hanya dengan kebijakkan pendanaan sekolah yang jelas, MBS akan dapat dijalankan secara nyata dan semestinya.


2.      Formula Pendanaan Sekolah
Mengacu pada prinsip yang dikemukakan sebelumnya, ada dua prinsip yaitu kecukupan dan keadilan yang perlu memperoleh perhatian.
a.       Prinsip Kecukupan
Untuk menjamin prinsip kecukupan dalam pendanaan sekolah perlu dilakukan perhitungan satuan biaya per anak untuk setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis sekolah.
Cara lain untuk menghitung kelayakkan biaya per siswa sekolah ialah dengan menjumlah penerimaan sekolah baik yang berasal dari pemerintah maupun sumbangan orangtua dan masyarakat pada sekolah sampel tersebut, kemudian dibagi dnegan jumlah murid masing – masing sekolah. Total jumlah siswa pada suatu bentuk satuan pendidikan dikalikan biaya satuan per anak menjadi kebutuhan operasional pendidikan untuk suatu bentuk satuan dalam satu Kabupaten/Kota.
Dalam hal biaya operasional satuan pendidikan dihitung tidak termasuk gaji guru maka bagi sekolah negeri yang jumlah gurunya kurang dari jumlah yang seharusnya (baku), misalnya 10 orang, tetapi baru ada 3 orang maka Pemerintah Daerah wajib memberikan dana kepada sekolah untuk menggaji yang 7 orang itu sehingga sekolah tersebut dapat berfungsi secara layak.
Penjelasan tentang besarnya porsi biaya/pendanaan untuk gaji guru dan personel lainnya, dimaksud untuk menunjukkan bertapa pentingnya guru, dan betapa beratnya sekolah yang kekurangan guru untuk menanggung pendanaan kekurangan guru tersebut. Bagi sekolah yang kekurangan guru, semestinya mereka memperoleh dana kompensasi sebesar PNS guru – guru yang seharusnya ada sehingga sekolah yang bersangkutan dapat membayar guru – guru pengganti sesuai kebutuhan.

b.      Prinsip Keadilan
Untuk memastikan bahwa setiap murid memperoleh layanan pendidikan yang layak maka di samping satuan biaya per siswa/murid dihitung secara layak, perlu memperhatikan unsur – unsur penentu atau “variabel” yang merupakan ciri sasaran perhitungan. Unsur – unsur penentu yang menjadi pertimbangan, antara lain sebagai berikut.
1)      Jenis dan bentuk satuan dan jenjang pendidikan, seperti TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs, SMU/MAK, serta SLB/MLB, yang masing – maisng memiliki karakteristik keperluan pendanaan yang berbeda, baik karena tuntutan kurikulum maupun karakteristik muridnya.
2)      Pada setiap bentuk satuan, jenjang dan jenis yang sama, terdapat perbedaan :
a)      Sekolah besar dan kecil dari segi jumlah muridnya, yang menyebabkan kebutuhan pendanaan yang berbeda.
b)      Sekolah kaya dan miskin, baik karena dukungan masyarakat atau sebaliknya. Anak – anak keluarga miskin jangan sampai terlalu dirugikan layanan pendidikan di sekolah.
Kategori sekolah kaya miskin dapat diperhalus menjadi tiga kategori, yaitu kuat, sedang, dan lemah yang disebabkan oleh lingkungan masyarakatnya.
3)      Biaya minimal atau biaya tetap (fix-cost)
Biaya minimal perlu ditetapkan sesuai syarat pendirian sekolah dan tuntutan kurikulum.
Disamping distribusi Dana Alokasi khusus secara nasional yang masih membutuhkan perhatian khusus, distribusi untuk masing – masing kabupaten/kota pun masih harus dilakukan dengan lebih hati – hati. Hasil study Hadiyanto (2004) masih menunjukkan bahwa sebagian dana rehabilitasi untuk sekolah yang lemah akhirnya masih ‘jatuh’ di sekolah yang tergolong mapan.
4)      Kombinasi banyaknya murid dan status sosial ekonomi.
Perhitungan biaya tambahan tidak dapat disamaratakan, mengingat ada sekolah yang secara sosial – ekonomi kuat, ada yang sedang, dan ada yang lemah. Sedangkan yang lemah harus diberi dana per murid lebih besar dari pada yang sedang, dan perhitungan tambahan biaya per murid pada sekolah yang sedang harus lebih besar dari pada yang kuat.

3.      Bantuan Pendanaan bagi sekolah Swasta (Dikelola oleh Masyarakat)
Kalau diteliti kembali pesan pasal 55, ayat (3) dan (4), terdapat dua hal penting, yaitu pertama, dana penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat dapat berasal dari antara lain Pemerintah dan Pemerintah Daerah, kedua bahwa lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh subsidi dana dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah.
Perlu menjadi catatan bahwa menurut Sisdiknas (UU No.20 Tahun 2003), sekolah – sekolah negeri yang penyelenggaranya adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah, dapat menggalang dana dari masyarakat (termasuk orang tua siswa), di sisi lain sekolah swasta (yang diselenggarakan oleh masyarakat) dapat memperoleh subsidi dana dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah secara adil dan merata.
Hal yang sudah lama ditunggu – tunggu oleh penyelenggara sekolah swasta adalah kepastian subsidi secara adil dan transparan.
Dari pengamatan dan data statistik sebagian besar sekolah swasta termasuk dalam kategori sosial-ekonomi lemah, yang mencerminkan juga masyarakat pendukungnya yang kebanyakkan dari ekonomi lemah. Kalau tidak ada kepastian kebijakkan bantuan kepala sekolah swasta maka akan terjadi ketidakadilan berantai (multiple deficiencies), yaitu anak – anak dari keluarga miskin di didik di sekolah yang ala kadarnya baik guru maupun fasilitasnya dan mereka harus menanggung seluruh biaya pendidikan. Sedangkan bagi anak lain yang ekonomiinya lebih baik justru ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah. Golongan anak yang nasibnya kurang beruntung ini banyak yang tersingkir dasi sekolah negeri karena adanya berbagai model “seleksi”.
Kalau masalah ketidakadilan seperti ini dibiarkan terus berjalan, kita seperti membiarkan diskriminasi terselubung di bidang pendidikan karena kita sering mengemukakan slogan – slogan yang membius, seperti pendidikan untuk semua, pendidikan sepanjang hayat, skeolah negeri dan swasta mempunyai kedudukan yang sama dalam sistem pendidikan nasional dan lain – lain, sedangkan sebenarnya anak – anak miskin yang umumnya belajar di sekolah swasta mendapatkan layanan pendidikan yang di bawah standar.
Oleh karena itu, perlu kejelasan bantuan pendanaan (subsidi) kepada satuan pendidikan swasta yang adil dan merata dalam bentuk kebijakan operasional yang tegas dan transparan, mengingat hal ini merupakan pesan undang – undang. Apalagi untuk jenjang wajib belajar pesan tersebut bahkan merupakan pesan konstitusi (UUD RI). Dengan peruntukkan pendanaan pendidikan yang terbatas bagi sekolah swasta ditambah dengan kebijakan yang formulanya tidak jelas, tidak tegas, dan kurang transparan akan berakibat pada praktik negatif dan fitnah yang memojokkan birokrasi itu sendiri, seperti tuduhan adanya deal tertentu, sistem teman, permainan politik, permainan uang, dan lain – lain yang tidak sedap terdengar yang sesungguhnya belum tentu benar terjadi. Akibat yang paling ridak baik adalah ketidakpastian aturan main dalam subsidi kepada lembaga pendidikan swasta turur menebar benih kecurigaan dan perpecahan karena yang berkembang bukan kompetisi mutu, tetapi kompetisi kasak-kusuk.
Sebaliknya, aturan main yang jelas dalam bentuk kebijakkan operasional subsidi kepada lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat secara adil dan merata memperkuat pelaksanaan sisdiknas sesuai undang – undang. Kebijakkan seperti ini pada gilirannya akan memenuhi tuntutan transparansi dan akuntabilitas yangg juga merupakan ciri dari semangat UU No. 20 Tahun 2003.

4.      Kenijakan Makro dan Mezzo Pendanaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Secara makro (nasional), orang sulit menemukan besarnya pendanaan pendidikan untuk sekolah seluruh Indonesia. Hal ini terutama karena pendanaan pendidikan digunakan oleh beberapa departemen yang menyelenggarakan dan mengelola pendidikan. Di dalam lingkungan Depdiknas sendiri terdapat unit – unit utama, ada yang terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan, ada yang keterlibatannya tidak langsung. Belum lagi dana pendidikan yang sebagian sudah masuk dalam DAU (Dana Alokasi Umum) bercampur dengan dana bidang/sektor lain yang pengelolaannya ditangani oleh Pemerintah Daerah dengan proporsi yang tidak boleh ditentukan persentasenya karena pemerintah daerah yang bersangkutan dianggap yang lebih tahu kebutuhannya.
Dalam situasi pendanaan pendidikan yang presentasinya masih sangat kecil terhadap APBN (kurang lebih 4%), sumber pendanaan disalurkan melalui anggaran rutin dan pembangunan. Terdapat berbagai proyek pendidikan, ada yang berlingkup nasional dan berlingkup regional.
Sebagian dari program – program proyek dilakukan dengan memberikan grant (hibah) langsung ke sekolah termasuk madrasah, sementara ada juga proyek – proyek yang programnya ditangani sendiri karena sifatnya pembinaan dan pengembangan sistem, sosialisasi dan sebaginya yang kegiatannya, antara lain berbentuk workshop, seminar, rapat kerja, training, dan beragam sosialisasi kebijakkan baru atau berbagai pembaruan pendidikan.
Hal pendanaan sekolah sangat tergantung dari bagaimana sikap Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Bolanya ada pada kebijakan makro (pusat) dan mezzo (pemerintah daerah). Kalau masalah ini tidak segera diperjelas maka smeua pembaharuan dengan berbagai argumentasi yang tampaknya sevara teknis menjajikan tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan. Bahkan dapat terjadi yang disalahkan konsep dan sistemnya, padahal masalahnya terdapat pada kesungguhan untuk melaksanakan semua elemen secara konsisten. Dalam pelaksanaan MBS, elemen pendanaan berbasis sekolah merupakan elemen yang sangat esensial.
Bagi berbagai pihak yang selalu menginginkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas, model pendanaan pendidikan dengan “hibah” atau grant langsung ke sekolah adalah sesuatu yang sangat menjanjikan. Dari sisi efektivitas penggunaan dana, sekolah dapat menggunakan dana tersebut sesuai kebutuhan riel masing – masing sekolah baik untuk pendanaan sarana penunjang proses belajar maupun kegiatan operasional pendukung program pendidikan di sekolah. Dengan dmeikian, tidak terjadi lagi alat-alat atau buku kiriman pemerintah yang menumpuk tidak digunakan karena sekolah menganggap barang-barang tersebut tidak relevan atau tidak diperlukan. Dari sisi efiensi, di samping sekolah hanya mengadakan sesuatu atau melakukan kegiatan (sesuai kebutuhan), realisasi kegiatan yang memerlukan biaya cepat dapat dilakukan, dan kontrol langsung dapat terjadi pada setiap sekolah oleh orangtua dan masyarakat melalui Komite Sekolah. Dengan model pendanaan ini tidak terjadi konsentrasi anggaran yang miliaran rupiah, tidak ada tender yang memakan waktu berbulan – bulan terkadang harus diulang dan seterusnya, kesempatan penyimpangan pun menjadi kecil. Yang penting juga terjadi penyebaran anggaran pembangunan dan rutin yang merata ke seluruh pelosok, yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di pusat dan kota-kota. Sementara dari sisi teknis edukatif skema pendanaan berbasis sekolah dapat menjamin pelaksanaan MBS, dan mendorong adanya inisiatif dan krretaivitas sekolah untuk  merancang dan melaksanakan upaya peningkatan mutu dengan berbagai pembaruan yang diperkenalkan. Model ini juga menggerakkan antusiasme masyarakat untuk turut berpartisipasi dan peduli pada pendidikan di lingkungan masing-masing.


C.     REORIENTASI KEPENGAWASAN SEKOLAH, LEMBAGA TRAINING GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SERTA PENGATURAN SARANA DAN MONITORING.
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan atau implementasi MBS, dalam pandangan Umaedi (2004) pemerintah perlu melakukan reorientasi terhadap praktik – praktik yang ada selama ini, yaitu mencakup masalah kepengawasan sekolah, Lembaga training guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengaturan sarana dan prasaran serta pelaksanaan monitoring kegiatan.
1.      Kepengawasan.
Kepengawasan sekolah dalam konteks MBS sangat berbeda dengan kepengawasan yang selama ini dipahami masyarakat umum. Kalau sebelumnya pengawas sekolah bertugas mengecek sejauh mana berbagai aturan, juklak, dan juknis, serta edaran dari pusat dilaksanakan di sekolah maka dalam Sisdiknas yang menekankan MBS, peran mereka akan berbeda. Mereka perlu tahu bahwa sekolah bukan hanya sekedar menjabarkan petunjuk dari pusat, tetapi jsutru harus memiliki inisiatif dan kreativitas. Sekolah tidak bekerja sendiri melainkan melibatkan masyarakat dan orang tua dalam merancang, melaksanakan, dan memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, perlu perumusan kembali peran kepengawasan. Perubahan ini bukan hanya masalah yuridis, tetapi juga sikap dan profesionalismenya.
Tugas kepengawasan menurut Sisdiknas menjadi tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dewan pendidikan, dan Komite Sekolah. Kalau pengawas sekolah, dalam hal ini berfungsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Daerah, mereka juga harus berkoordinasi dengan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah dan justru dalam era transparansi, seperti sekarang ini peran lembaga yang mewakili masyarakat sering dianggap lebih sredible (dipercaya). Di samping itu pada setiap Pemerintah daerah, sepanjang berkaitan dnegan pengawasan administratif sudah ada Bawasda yang tugasnya melakukan pengawasan pada semua satuan kerja di lingkungan Pemda. Oleh karena itu, kepengawasan sekolah harus jelas bidang tugasnya.
Kalau peran kepengawasan sekolah fokusnya akan lebih ditujukan pada masalah teknis edukatif dan teknis managerial maka peran para pengawas sekolah lebih pada fungsi evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, dalam hal ini juga merupakan kepanjangan tangan dari Pemeirntah daerah, dan belum jelas apanya yang dievaluasi secara terperinci.
Dalam pola MBS, hak guru dan tenaga kependidikan sebagai profesional mandiri sangat ditekankan. Oleh karena itu, fungsi pengawas sekolah kalau akan diefetifkan untuk membantu profesionalisme guru dan tenaga kependidikan dalam praktik, perlu dirumuskan kembali.

2.      Lembaga Pelatihan Guru dan Tenaga Kependidikan
Lembaga pelatihan guru dan tenaga kependidikan yang selama ini seolah lebih tahu akan kebutuhan, kemampuan, dan kelemahan guru dari pada sekolah dan guru itu sendirisehingga guru meneriman apa pun yang dilatihkan dan kapanpun untuk memenuhi undangan pelatihan, pada masa mendatang lembaga ini harus bersikap melayani dan menyediakan apa yang diperlukan oleh guru dan tenaga kependidikan untuk meningkatkan kompetensi mereka. Dengan kata lain, lembaga ini yang semula bersikap supply driven perlu berubah menjadi demand driven.
Lembaga pelatihan harus menawarkan berbagai program dan paket-paket pelatihan kepala sekolah, serta sekolah akan memilih dan mendaftar masuk pelatihan kalau mereka merasa memerlukan dan bermanfaat. Dana untuk pelatihan diberikan kepada sekolah sebagai bagian grant untuk berbagai keperluan yang penggunaannya ditentukan oleh sekolah. Dana yang diperuntukkan pada lembaga pelatihan yang formal terutama untuk menyusun berbagai program, paket, silabus, dan pengembangan materi dan sejenisnya untuk pelaksanaan pelatihan sekolah yang mendaftar harus membayar dengan dana sekolah.
Meskipun ada lembaga – lembaga yang tugas pokoknya melaksanakan pelatihan, tetapi sekolah yang melaksanakan MBS memiliki kebebasan untuk memilih lembaga/instansi mana tempat mereka “membeli” pelatihan yang sesuai kebutuhan mereka, bahkan lembaga swasta sekalipun. Sekolah juga melakukan kerja sama dengan instansi mana pun yang mereka pilih dalam rangka staff development.
Berkaitan dengan hal-hal tersbeut lembaga-lembaga pelatihan guru dan tenaga kependidikan perlu melakukan reorientasi dan refungsionalisasi dirinya.

3.      Pengaturan Kembali Kebijakkan Pengadaan Penyediaan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Pengadaan/penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang semula dilakukan secara terkonsentrasi bai di pusat maupun di daerah perlu diatur ulang. Jenis-jenis sarana dan prasaran yang pengadaannya dapat dilakukan oleh skeolah perlu diserahkan tanggungjawabnya kepada skeolah. Bersama komite sekolah, mereka dapat merencanakan kebutuhan, menilai, dan mengadakan sarana pendidikan sesuai kebutuhan masing-masing, menggunakan dana hibah yang diterimanya.
Dalam hal ini, pelru dipertegas apa-apa yang dapat diadakan oleh sekolah dan jenis sarana apa yang pengadaannya perlu dipusatkan dan dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota. Sementara untuk daerah-daerah sulit, terpencil atau sekolah di daerah bencana dapat saja ditangani secara terpisah.

4.      Monitoring dan Evaluasi MBS
Sebagai suatu pendekatan batu dalam pengelolaan pendidikan yang merupakan bagian dari Sisdiknas, MBS masih perlu dikawal, dimantapkan pelaksanaannya, dan disempunakan/diperbaiki secara terus-menerus berdasarkan kelemahan dan kekurangan yang dialami. Hal ini untuk menghindari terjadinya kondisi kontraproduktif yang disebabkan oleh kelalaian ataupun pelaksanaan yang tidak sunggu-sungguh bahkan menyimpang dari konsep dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, memonitoring dan evaluasi terhadap implementasi MBS perlu dilakukan dalam rangka pemantapan sistem.
Sesuai tatanan Sisdiknas dalam pelaksanaan MBS yang baik, unsur monitoring, evaluasi ataupun pengawasan bersifat melekat karena pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan adalah pengelolaan bersama antara unsur sekolah dan orangtua murid serta masyarakat. Semikian pula pada tingkat Kabupaten/Kota ada Dewan Pendidikan, dan seterusnya pada tingkat Provinsi juga direncanakan ada Dewan Pendidikan. Dalam manajemen yang bersifat kolektif seperti itu, sebenarnya diharapkan sudah ada saling mengawasi dan mengoreksi, serta saling memantau sehingga semua pihak bertindak berdasarkan nilai-nilai kebaikan bersama dan rasional.




No comments: