Friday, March 31, 2017

RESUME MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) IDIK4012 MD2 KB1 SENTRALISASI DAN DESENTRALISASI

A.    Latar Belakang Desentralisasi
Alasan diterapkannya desentralisasi dapat ditelusuri dari ketidak berhasilan pemerintah Orde Baru dalam mengatasi krisis ekonomi pada tahun 1997 – 1998 yang menimbulkan efek berantai yang berwujud ketidakpuasan masyarakat terhadap hampir semua kebijakan, tatanan pemerintahan dan hasil-hasil karya pembangunan pemerintahan Orde Baru. Puncak semua ketidakpuasan tersebut berujung pada jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto dan digantikan oleh B.J. Habibie, yang menandai titik awal dimulainya reformasi disegala bidang.
Hasil gambar untuk sentralisasi dan desentralisasi
Pada era reformasi, masyarakat seakan-akan mendapatkan kebebasan yang sebelumnya tidak pernah dirasakan. Masyarakat sungguh-sungguh menuntut sistem pemerintahan yang transparan, accountable, efektif dan efisien, serta mengindahkan aspirasi masyarakat yang beragam. Sistem desentralisasi dipandang dapat mengakomodasikan tuntutan masyarakat tersebut.
Dalam wacana yang lebih konkret, diperlukan perubahan sistem kekuasaan yang tidak terpusat pada satu orang atau lembaga, penguatan lembaga legislatifsebagai cermin kedaulatan rakyat, dan kemerdekaan lembaga yudikatif untuk menjaga obyektivitas dan keadilan bagi setiap warga negara.
Sejalan dengan dorongan/kecenderungan untuk mengurangi kekuasaan dan kewenangan yang terpusat atau pemusatan kekuasaan yang biasa disebut sentralisasi maka gerakan desentralisasi sangat menguat. Semangat ini menguat karena pengalaman masa pemerintahan Orde Baru yang dinilai terlalu sentralistik sehingga aspirasi daerah yang beragam kurang terakomodasi dengan baik.
Desakan untuk menerapkan desentralisasi pemerintah mencapai titik puncak dengan diputuskannya Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, antara lain mengamanatkan penyelenggaraan pemerintah daerah dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab.
Tidak lanjut dari TAP MPR tersebut adalah dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku sejak Januari 2001, dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenagan  Pemerintah.
Kebijakan di sektor pendidikan sebagai bagian dari sistem pemerintahan yang melayani seluruh lapisan masyarakat, suka atau tidak suka harus menyesuaikan diri dalam konteks reformasi kehidupan bangsa.

.      B. Konsep Dasar Sentralisasi dan Desentralisasi
Pada umumnya disepakati bahwa sentralisasi merujuk pada sejauh mana pengambilan keputusan terkonsentrasi pada suatu titik didalam organisasi. Konsentrasi pengambilan keputusan yang tinggi bermakna tingkat sentralisasi yang tinggi, sebaiknya konsentrasi yang rendah menunjukan tingkat sentralisasi yang rendah pula atau dapat disebut desentralisasi. sentralisasi berkaitan dengan penyebaran kewenangan untuk mengambil kepustusan didalam organisasi. Menurut robbins, penyebaran tersebut bukan penyebaran yang bersifat geografis.
Mintzberg dalam The Structuring of Organizations (1979) mengemukakan masalah sentralisasi dan desentralisasi dalam arti kekuasaan untuk pengambilan keputusan dalam organisasi. Menurutnya apabila semua kekuasaan untuk mengambil keputusan berada pada satu titik dalam organisasi dan pada akhirnya berada ditangan seorang individu maka stuktur organisasi tersebut disebut sentalistik. Jika kekuasaan tersebar di antara banyak orang maka disebut sentralistik.
Kekuasaan untuk mengambil keputusan dapat dilakukan karena yang bersangkutan memang memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut. Wewenang untuk mengambil keputusan dapat bersifat formal karena posisi atau kedudukan dalam organisasi atau berdasarkan mandat yang melekat pada jabatan atau posisi yang bersangkutan.
Robbins (1990) mengemukakan definisi dengan pendekatan yang pragmatis, dengan menggambarkan bahwa sentralisasi sebagai “ derajat / tingkat kebebasan bagi otoritas formal untuk menentukan pilihan-pilhan yang terkonsentrasi pada seorang individu, unit, atau tingkat sehingga memungkinkan input yang minim bagi karyawan  dalam pekerjaan mereka”. Ditegaskan disini bahwa sentralisasi hanya menyangkut struktur formal bukan informal didalam organisasi.
Sentralisasi dan desentralisasi merupakan derajat conlinuun pada ruas garis pengambilan keputusan antara titik sentralisasi dan desentralisasi. Pengambilan keputusan yang bukan bersifat rutin atau masalah individu setidaknya meliputi proses sebagai berikut.
  1. Pengumpulan informasi tentang apa yang dapat dikerjakan untuk diteruskan kepada pengambil keputusan.
  2. Pengolahan dan interpretasi informasi tersebut untuk menjadi saran mengenai yang seharusnya dilakukan oleh pengambil keputusan.
  3. Penentuan pilihan, mengenai kegiatan yang akan dilakukan.
  4. Pemberian kewenangan berkaitan dengan kegiatan yang akan dilakukan.
  5. Melakukan eksekusi atau melaksanakan (Robbins, 1990, Mintzberg, 1979, dalam Paterson, 1969).
Menurut keduanya, derajat kontrol seseorang atas semua tingkat datam proses pengambilan keputusan menunjukkan derajat sentralisasi atau desentralisasi keputusan. Kalau seseorang memegang kontrol sepenuhnya terhadap kelima proses tersebut di datam pengambilan keputusan maka organisasi yang bersangkutan sentralistik. Dengan seimakin banyaknya pihak lain turut mengontrol langkah-langkah datam proses tersebut maka pemimpin (manager) kehilangankekuasaan dan proses tersebut menjadi desentralistik.
Dengan penjelasan sebelumnya, semakinjelas bahwa konsep sentralisasi dan desentralisasi bersifat relatif, tidak mutlak. Bahkan di dalam Praktik, hampir tidak ada sentralisasi yang mutlak atau desentralisasi yang mutlak.
Rondinelti dan Cheema (1983, seperti dikutip oleh Duhou, 1999, h. 24-25) mendefinisikan konsep desentralisasi sebagai pemindahan tanggung jawab untuk perencanaan, manajemen, peningkatan sumber daya dan alokasinya dari pemerintah pusat dan lembagalembaganya kepada
(a) unit-unit kerja di lapangan (termasuk sekolah) dari kementerian pusat ;
(b) unit-unit di bawah atau tingkat-tingkat pemerintahan ;
(c) otoritas-otoritas semi otonom ;
(d) otoritas wilayah, regional atau fungsional ;
(e) organisasi voluntir-nonpemerintah.

Tipe- tipe desentralisasi berdasarkan pada derajat besar kecilnya tanggung jawab dan kebebasan dalam mengambil keputusan yang diberikan oleh pemerintah pusat, sebagai berikut :
1.  Dekonsentrasi , yaitu penyerahan sejumlah kewenangan adminstratif atau tanggung jawab dari suatu kementrian kepada tingkat di bawahnya sehingga beban kerja pejabat pusat berpindah ke luar kantor psat atau daerah dan dilaksanakan sesuai kondisi, tetapi tetap berpedoman pada petunujuk pusat. Di Indonesia, tugas yang dilakukan pemerintah provinsi sebagian adalah tugas dekonsentrasi.
2. Delegasi, yaitu penyerahan tanggung jawab pengelolaan hanya untuk fungsi-fungsi khusus tertentu. Termasuk di antaranya pendelegasian wewenang khusus untuk masalah personel saja, atau masalah sarana prasarana saja.
3.  Devolusi, didalamnya terkandung pengertian mewujudkan unit mandiri dibawah struktur organisasi pusat yang secara hukum maupun keuangan berstatus otonom dan independen. Penguasa pusat hanya melakukan kontrol secara tidak langsung.
4.  Privatisasi yang merupakan penyerahahan kewenangan dan tanggung jawab secara penuh, yang biasa dilakukan kepada perusahaan swasta atau individu dan juga kepada lembaga swadaya masyarakat.

Berdasarkan pengertian-pengertian tentang tipe-tipe desentralisasi terebut, menurut Fiske (1996, dikutip oleh Dohuo, 1999), dekonsentrasi adalah desentralisasi yang paling lemah, pemerintah pusat masih sangan kuat kontrolnya. Sementara itu, delegasi meskipun memberikan kewenangan yang lebih besar, mengandung makna bahwa memberi kewenangan tersebut sewaktu-wsaktu dapat ditarik kembali. Devolusi merupakan penyerahan kewenangan yang cakupannya luas dan permanen.

No comments: