A.
Pendahuluan
Dalam
undang – undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Ada orang yang beranggapan bahwa
sikap bukan untuk diajarkan, seperti halnya matematika, fisika, ilmu sosial,
dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh karena itu, yang lebih
tepat untuk bidang afektif bukanlah istilah pengajaran,
namun pendidikan. Namun, oleh karena strategi pembelajaran yang
dibicarakan dalam naskah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
bukan hanya dimensi kognitif tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan
keterampilan, melalui proses pembelajaran yang menekankan kepada aktivitas
siswa sebagai subjek belajar, maka selanjutnya penulis menggunakan istilah
strategi pembelajaran afektif, walaupun dalam bahasan selanjutnya kedua istilah
itu akan digunakan secara bergantian.
Strategi pembelajaran afektif
memang beda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif
berhubungan dengan nilai (value),
yang sulit diukur, oleh karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari
dalam. Dalam batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian
behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk sampai pada kesimpulan yang bisa
dipertanggung jawabkan membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus,
dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan, apalagi menilai perubahan sikap
sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah. Kita tak
bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan
berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses
pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan
dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
B.
Hakikat
Pendidikan Nilai dan Sikap
Nilai adalah suatu konsep yang
berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada didalam
dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik
dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil,
dan lain sebagainya. Pandangan seseorang tentang semua itu tidak bisa diraba,
kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh
karena itu lah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang menentukan
atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik,
indah dan tidak indah, layak dan tidak layak dan lain sebagainya, sehingga
standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang. Dengan demikian, pendidikan
nilai pada dasarnya proses penanaman nilai kepada peserta didik yang diharapkan
oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya
baik dan tidak bertentangan dengan norma – norma yang berlaku.
Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat
empat faktor yang merupakan kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu
:
a.
Normativist.
Biasanya
kepatuhan kepada norma – norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kepatuhan kepada nilai atau norma itu
sendiri, (2) kepatuhan kepada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri, (3)
kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkan dari peraturan itu.
b.
Integralist.
Yaitu kepatuhan
yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan – pertimbangan yang
rasional.
c.
Fenomenalist.
Yaitu kepatuhan
berdasarkan kepada suara hati atau sekadar basa basi.
d.
Hedonist.
Yaitu kepatuhan kepada
diri sendiri.
Selanjutnya dalam sumber yang
sama dijelaskan, dari keempat faktor ini
terdapat lima tipe kepatuhan, yaitu :
a.
Otoritarian.
Suatu kepatuhan
tanpa reserve atau kepatuhan yang
ikut – ikutan.
b.
Conformist.
Kepatuhan tipe
ini mempunyai tiga bentuk, yaitu : (1) conformist directed, (2) conformist
hedonist, (3) conformist integral.
c.
Compulsive
deviant.
Yaitu kepatuhan
yang tidak konsisten.
d.
Hedonik
psikopatik.
Yaitu kepatuhan
kepada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan orang lain.
e.
Supramoralist.
Yaitu kepatuhan
karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai – nilai moral.
Dalam masyarakat yang cepat berubah
seperti dewasa ini, nilai bagi anak merupakan hal yang sangat penting, karena
pada era global dewasa ini, anak akan dihadapkan pada banyak pilihan yang
mungkin akan dianggap baik. Komitmen
seseorang terhadap nilai tertentu terjadi melalui sikap, yakni kecenderungan
seseorang terhadap suatu objek. Gulo (2005) menyimpulkan tentang nilai sebagai
berikut :
a.
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi
diketahui dari penampilannya.
b.
Pengembangan domain efektif pada nilai
tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
c.
Masalah nilai adalah masalah emosional
dan karena itu dapat berubah, berkembang sehingga bisa dibina.
d.
Perkembangan nilai atau moral tidak
terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.
Pernyataan kesenangan dan
ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya, sangat dipengaruhi
oleh tingkat pemahaman (aspek kognitif) terhadap objek tersebut, oleh karena
itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap suatu objek dan kemampuan untuk
bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap
objek yang bersangkutan.
C.
Proses
Pembentukan Sikap
1.
Pola pembiasaan.
Dalam
proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat
menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Misalnya,
siswa yang setiap kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari guru,
misalnya mengejek atau perilaku yang menyinggung persaan anak, maka lama
kelamaan akan timbul rasa benci dari anak tersebut, dan perlahan – lahan anak
tersebut akan mengalihkan sikap negatif itu buka hanya kepada gurunya itu
sendiri, akan tetapi kepada mata pelajaran itu sendiri.
Belajar
membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner melalui
teorinya operant conditioning. Peroses
pembentukkan sikap melalui pembiasaan yang dilakukan Watson berbeda dengan
proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Pembentukan sikap yang
dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respon anak. Setiap kali
anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang
menyenangkan. Lama – kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
2.
Modeling
Pembelajaran
sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan
sikap melalui proses asimilasi atau
proses mencontoh. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang berkembang
adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu
adalah perilaku – perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang
yang jadi idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud modeling. Modeling adalah proses peniruan anak
terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
D.
Model
Strategi Pembelajaran Sikap
1.
Model Konsiderasi
Model
konsiderasi (the consideration model) dikembangkan
oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak
sama dengan pembentukan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa
menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual.
Implementasi
model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :
a.
Menghadapkan siswa pada suatu masalah
yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari.
b.
Menyuruh siswa untuk menganalisis
situasi masalah dengan melihat bukan hanya dengan tampak, tapi juga yang
tersirat dalam permasalahan tersebut.
c.
Menyuruh siswa untuk menuliskan
tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.
d.
Mengajak siswa untuk menganalisis respon
orang lain serta membuat kategori dari setiap respon yang diberikan siswa.
e.
Mendorong siswa untuk merumuskan akibat
atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.
f.
Mengajak siswa untuk memandang
permasalahan dari sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar
mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
g.
Mendorong siswa agar merumuskan sendiri
tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan
pertimbangannya sendiri.
2.
Model Pengembangan Kognitif.
Model
pengembangan kognitif (the cognitive
development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak
diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsung –
angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang
melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a.
Tingkat Prakonvensional.
Pada tingkat ini
setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya,
pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat
prakonvesional ini terdiri atas dua tahap, yaitu : tahap pertama adalah Orientasi
Hukum dan Kepatuhan dan tahap kedua
Orientasi Instrumental Relatif.
b.
Tingkat Konvensional
Pada tahap ini
anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarkat. Kesadaran
dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma –
norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Pada tingkatan ini mempunyai 2
tahap, yaitu : keselarasan interpersonal serta tahap sistem sosial dan kata
hati.
c.
Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini
perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma – norma
masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai
dengan nilai – nilai yang dimilikinya secara individu. Pada tingkatan ini juga
terdiri dari dua tahap, yaitu : tahap
kontrak sosial dan tahap prinsip etis yang universal.
3.
Teknik Mengklarifikasi Nilai
Teknik
mengklarifikasi nilai (value
clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai
teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menemukan sesuatu
nilai yang dianggap baik dalam menghadapi sesuatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.
Kelemahan
yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses
pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai
– nilai yang dianggap baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam
diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau komplik dalam diri siswa
karena ketidak cocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru
yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan
nilai lama dan nilai baru. VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
moral VCT bertujuan :
a.
Untuk mengukur atau mengetahui tingkat
kesadaran siswa tentang suatu nilai.
b.
Membina kesadaran siswa tentang nilai –
nilai yang dimilikinya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatif )
untuk kemudian dibina kearah peningkatan dan pembetulannya.
c.
Untuk menanamkan nilai – nilai tertentu
kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada
akhirnya nilai tersebut akan menjadi milik siswa.
d.
Melatih siswa sebagaimana cara menilai,
menerima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan dalam hubungannya
dengan kehidupannya sehari – hari dengan masyarakat.
John Jarolimek (1974) menjelaskan
langkah pembelajaran dengan VCT dalam 7 tahap yang dibagi kedalam 3 tingkat.
Setiap tahapan dijelaskan seperti dibawah ini :
I.
Kebiasaan
Memilih
Pada tingkat ini
terdapat 3 tahap, yaitu :
a.
Memilih secara bebas, artinya kesempatan
untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik. Nilai yang dipaksakan tidak akan
menjadi miliknya secara penuh.
b.
Memilih dari beberapa alternatif.
Artinya, untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara
bebas.
c.
Memilih setelah dilakukan analisis
pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.
II.
Menghargai
Terdiri atas 2
tahap pembelajaran :
d.
Adanya perasaan senang dan bangga dengan
nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian
integral dari dirinya.
e.
Menegaskan nilai yang sudah menjadi
bagian integral dalam dirinya didepan umum. Artinya, bila kita menganggap nilai
itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk
menunjukkannya didepan orang lain.
III. Berbuat
Terdiri atas 2
tahap, yaitu :
f.
Kemauan dan kemampuan untuk mencoba
melaksanakannya.
g.
Mengulangi perilaku sesuai dengan nilai
pilihannya. Artinya, nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam
kehidupan sehari – hari.
VCT
menekankan bagaimana sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut
anggapannya baik, yang pada gilirannya nilai – nilai tersebut akan mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari – hari dimasyarakat. Dalam praktik
pembelajaran, VCT dikembangkan melalui proses dialog antara guru dan siswa.
Proses tersebut hendaknya berlangsung dalam suasana santai dan terbuka,
sehingga setiap siswa dapat mengungkapkan secara bebas perasaannya.
Beberapa
hal yang harus diperhatikan guru dalam mengimplementasikan VCT melalui proses
dialog, yaitu :
ð Hindari
penyampaian pesan melalui proses pemberian nasihat, yaitu memberikan pesan –
pesan moral yang menurut guru dianggap baik.
ð Jangan
memaksa siswa untuk memberi respon tertentu apabila memang siswa tidak
menghendakinya.
ð Usahakan
dialog dilaksanakan secara bebas dan terbuka, sehingga siswa akan mengungkapkan
perasaannya secara jujur dan apa adanya.
ð Dialog
dilaksanakan kepada individu, bukan kepada kelompok kelas.
ð Hindari
respon yang dapat menyebabkan siswa terpojok, sehingga ia menjadi defensif.
ð Tidak
mendesak siswa pada pendirian tertentu.
ð Jangan
mengorek alasan siswa lebih dalam.
E.
Kesulitan
Dalam Pembelajaran Afektif.
Disamping aspek pembentukan
kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan pembentukan keterampilan
untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik,
maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah
pentingnya. Proses pendidikan bukan hanya membentuk kecerdasan dan memberikan
keterampilan akan tetapi juga membentuk dan mengembangkan sikap agar anak
berperilaku sesuai dengan norma – norma yang berlaku dimasyarakat.Hal ini
disebabkan proses pembelajaran dan pembentukan akhlak memiliki beberapa
kesulitan.
Pertama,
selama
ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual (kemampuan kognitif).
Kedua,
sulitnya
melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan
sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembisaan
maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh guru, akan tetapi juga faktor –
faktor lain.
Ketiga,
keberhasilan
pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda dengan
pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap
baru dapat dilihat pada rentang waktu yang panjang.
Keempat,
pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara, berdampak
pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita pungkiri, program – program
televisi.