Wednesday, March 21, 2012

Cinta Langit pada Bumi


Aku, adalah sebuah tempat yang paling atap dari atap-atapnya dunia. Aku sebuah ruang dimana anak-anak melayangkan layang-layangannya. Kata para penatapku, aku adalah yang maha luas, tanpa batas, lebih lepas dari lautan lepas. Ya, aku adalah Langit.

Aku berdiri pada sebuah takhta titah Tuhan. Ia-lah yang membuatku berdiri meski aku tak punya kaki dan tak punya daratan untuk kupijaki. Dia menciptakanku dengan enam masa serta tujuh lapis. Penduduk bumi bercerita melalui burung, bahwasanya aku indah. Dan menginsiprasi banyak orang. Demikian kata burung.


Aku dilahirkan oleh-Nya ketika cinta-Nya ia turunkan. Sejak itu, aku menjadi penguasa semesta jagad. Menjadi pengatur segenap benda-benda angkasa yang kumiliki di dalam tubuhku. Mengalahkan sang matahari yang terik menyinari. Mengalahkan terangnya purnama bulan. Mengalahkan bintang yang jatuh sekalipun. Mengalahkan komet-komet yang meluncur kian kemari. Juga mengalahkan beredarnya galaksi. Akulah pemilik mereka semua, hingga akulah penguasanya. Meski aku hampa, tapi dengan kehampaanku itulah mereka—galaksi-galaksi—ada dan beredar. Coba bayangkan alam semesta ini tanpa langit, tanpa adanya ruang. Tentu takkan ada yang namanya kehidupan. Yang ada hanya padat. Misteri. Dan takkan ada imaji-imaji manusia tentang astronomi. Untung Allah yang Maha Tinggi menganugerahkan ledakan Big Bang untuk memberikan kehidupan. Memberikan kehidupan pada benda-benda angkasa dengan silih berganti bergerak, beredar, berdzikir mematuhi titah Tuhannya.

Di Bimasakti, aku banyak memiliki harta. Harta Langit, demikian ku menyebutnya. Dan mereka menggantungkan tanggung jawabnya padaku. Harta langitku itu adalah Bulan, Bintang, Matahari, Awan, Burung, Pelangi, Angin, dan hartaku yang paling indah dan kucinta adalah Bumi. Entah kenapa aku jauh lebih mencintai si planet biru ini di Bimasakti ketimbang hartaku yang lain. Mungkin karena di Bumi ada berjuta anugerah indah yang begitu menggugahku, yang membuatku tersenyum, nyengir, dan tertawa. Bumi, yang di dalamnya terdapat air, terdapat udara segar, juga Bumi terdapat pemandangan indah yang menyejukkan mataku: Laut, Gunung, Bukit, Pematang, Daratan, Sungai, Juga tumbuh-tumbuhan yang melimpah disana. Burung juga pernah bercerita padaku bahwa di bumi adalah satu-satunya planet yang memiliki kedihupan. Di Bumi, kata si Burung, terdapat yang namanya Manusia. Sosok yang mungil, yang pintar, cerdas, namun kadang juga pemalas. Sang burung juga berkata bahwa di Bumi banyak yang mengagumiku...

Aku makin mencintai Bumi yang sepertiganya adalah Laut yang berwarna biru itu. Karenanya aku melindungi bumi dan seisinya dengan atmosfer-ku dari dari panas Matahari langsung yang bisa menghancurkan kelangsungan hidup Bumi yang kucinta. Saat ini panas Matahari masih bisa kutahan untuk menjaga Bumi. Aku tak tahu jika suatu saat nanti apakah aku masih bisa menjaga Bumi jika suatu saat Matahari meningkatkan panasnya. Jika Matahari meningkatkan panasnya, maka bisa-bisa atmosferku akan mati, dan tidak bisa lagi melindungi Bumi. Kuharap, akan begini terus adanya...

Aku sering memberi hadiah untuk Bumi. Ketika Allah menyuruhku untuk menurunkan rizki ke atas bumi, maka seketika itu aku menurunkan limpahan hujan untuk Bumiku. Aku menjatuhkan curahan cintaku yang kututur lewat hujan. Hujan, yang nantinya akan membahagiakan Laut dan Sungai karena kuisi dengan air Langit. Hujan, yang nantinya akan menyuburkan daratan. Membuat sang melata tersenyum. Membuat sang Tumbuhan tumbuh subur. Dan dengan hujanku juga Manusia Bumi bersyukur. Dengan hujan, kukucurkan cinta untuk Bumi.

Aku tidaklah bisa berbicara langsung kepada bumi yang kucinta, karena jarakku begitu jauh sehingga suaraku takkan mungkin terdengar. Jadi, aku hanya bisa mengaguminya. Hanya bisa mencintainya dari kejauhan. Ku tak tahu apakah Bumi juga mencintaiku. Kuharap ia juga mencintaiku.

Kadang aku menitipkan sebuah pesan cintaku melalui seorang perantara: yakni Burung, sahabatku yang paling baik. Teman kecilku yang satu ini memang baik. Kukatakan pada Burung, ”Burung, sampaikan padanya, bahwa aku mencintainya. Begitu mencintainya. Sampaikan juga salamku untuk si Daratan, Laut, untuk Air, Gunung, juga untuk Manusia-manusia di Bumi...”

Dan seketika sang Burung dengan kepakan sayapnya terbang, menyusui udaraku, merambah jantungku. Dan tibalah ia di daratan. Dan Burung sampaikan pesanku itu. Dan ketika itu, peraduan cintaku merona. Lihatlah Langit senja yang kemerah di barat! Itulah pipiku. Pipi cintaku. Yang merona...

Namun, tak selamanya aku bisa tersenyum dan merona. Ada kalanya dimana aku cemberut, sayu. Ketika sang Burung, sahabat mungilku itu tak kunjung datang kepadaku dan menitipkan pesan cinta. Burung pernah bercerita, katanya ia sudah lelah menjadi penghantar cintaku. Ia sudah lelah terbang ke Langit dan mendarat ke Bumi. Ia capek, harus mengepakkan sayap kecilnya sejauh ratusan kilometer demi menghantar pesan cintaku.

”Sorry Langit, jangan sering-sering dong nyuruh aku mengantar pesen cintamu... capek tau! Aku kan kecil. Jarak kamu dengan Bumi jaug bengeeet! Afwan ya Langit, aku nggak selamanya bisa menjadi pengentar kata cintamu. Menjadi perantaramu menuju kekasihmu...” demikian kata si Burung.

Mendengar kata si Burung, sejadinya aku menangis. Harus bagaimana lagi aku mencintaimu, Bumi??? Memaksa burung untuk menuruti perintahku sangat tak mungkin lantaran ia sahabat yang harus kumengerti keadaannya. Burung sahabat baikku. Aku tak ingin lagi membuat Burung susah gara-gara aku. ”Hik... hiks... hik...” aku menangis. Kujatuhkan gerimis. Kuharap di Bumi, Laut dan Darat bertanya seperti ini, ”Langit, kamu kenapa menangis?”

Akhirnya, aku mencari jalan lain untuk mencurahkan kerinduanku pada sang Bumi. Aku mencari sosok yang bisa diandalkan untuk mengantar pesan cintaku kepada Bumi. Sosok yang tidak akan menyusahkan dirinya bila kuminta pertolongan padanya. Lantas, pilihanku itu jatuh pada sang Angin. Tentu Angin takkan keberatan membawa kata cintaku untuk Bumi. Karena tentu takkan sulit baginya meniupkan kata cinta ke telinga Maha Indah Cintaku, Bumi. Alhamdulillah, Angin pun tidak keberatan ketika kuminta ia sebagai pengganti sang Burung.


Hari ini, Angin langsung membawa pesan cinta yang kuberi untuk Bumi. Dan dengan hembusannya, sang angin dengan mudah membisikkan kata cinta untuk Bumiku. Ya, Angin menghembuskan kata cintaku...

”Duhai Daratan dan Laut... sang Langit mencintaimu... dia akan selalu menjagamu, melindungimu, apapun yang terjadi... janganlah kau sedih karena Langit akan terus bersamamu. Cakrawalanya akan menaungi indahmu. Dan sore nanti, lihatlah di baratmu! Langit akan tersenyum dan merona untukmu. Untukmu duhai Bumi...” bisik Angin.

Usai Angin membisikkan kata cinta itu, aku pun tersenyum. Dan aku kembali merona. Indah dunia rasanya. Damai dalam dada. Aku ingin mencintainya... selamanya...

Namun ada penyesalan pada akhirnya. Karena baru kuketahui ternyata Angin adalah sosok yang tak bisa menjaga rahasianya. Rupanya ia bawel. Ia dengan mudah berhembus bercerita kepada saudaraku si Awan bahwa aku mencintai Bumi. Lantas kemudian si Angin bercerita lagi kepada sang Pelangi, kepada sang Udara, kepada sang Senja, kepada sang Waktu juga, bahwa aku mencintai Bumi. Jadilah akhirnya hari itu aku menjadi gosip paling hangat di jagad Bimasakti.

Hari berganti hari. Hingga akhirnya sampailah berita itu ke telinga sang Bintang dan sang Bulan. Inilah yang paling kutakutkan. Karena kutahu Bintang dan Bulan juga mencintaiku, mencintai Langit. Kutakut mereka berdua akan marah padaku. Sesungguhnya aku tak ingin membuat Bulan dan Bintang menangis karena aku mencintai yang lain...



Suatu hari Bulan mandatangiku, dan berkata,

”Langit... Langit kok gitu sih? Padahal Bulan kan cinta mati ama Langit... kenapa Langit malah milih Bumi, Ngit? Kenapa? Apa kurang teduh cahaya yang Bulan kasih di setiap malam? Apa kurang senyum Bulan untuk Langit ketika Bulan sedang sabit? Apa salah Bulan, Langit? Apa Hik.. hik...”

Bulan menjelaskan padaku berulang kali. Dengan tangisnya ia luapkan isi hatinya. Ia benar-benar cinta mai rupanya padaku. Tapi ya bagaimana, aku tak mencintainya. Akhirnya yang bisa kuberi pada Bulan adalah sebuah sekaan untuk tangisnya. Ku lap tangis sang Bulan, sahabatku. Dan lantas kupeluk ia,

”Duhai Bulan... Bulan yang Langit sayang. Maafkan Langitmu ya... maafkan jika Langitmu ini selalu seakan memberi harapan untukmu. Ketahuilah, itu adalah wujud cintaku untuk sahabatku. Bulanku, jangan bersedih ya... Bulan selalu ada kok di hati langit. Selalu ada. Garis tangan tergambar, Langit nggak bisa menentang-Nya. Langit lebih mencintai saudara Bulan, yakni Bumi. Sekarang yang tegar ya... maafi Langit! Maaf... untuk semua kesalahan Langit. Jangan nangis lagi. Jangan ngambek. Inilah takdir Allah, Bulan. Tapi Langit akan tetap menyayangi Bulan sebagai sahabat langit yang paling indah...”

Demikian yang kukatakan pada sang Bulan. Kulapaskan pelukanku. Dan kulihat cerah wajahnya, wajah ketegaran sang Bulan. Satu yang paling kusuka dari Bulan ialah, senyumnya... senyum ketegarannya...





Malam pun tiba. Aku membentangkan selimut hitam di cakrawalaku. Bulan masih enggan untuk bersanding denganku, katanya ia ingin menyendiri dulu. Namun lain dengan Bintang, malam ini bintang hadir dengan kilaunya yang bertabur di sisi-sisi gelapku. Aku tersenyum atas keindahan sang bintang-gemintang malam ini. Namun aku langsung dihadapkan pada ucapan Bintang yang membuatku tersentak,

”Bintang benci Langit!” ucap bintang keras dengan nada ngambek.
”Kenapa?” jawabku.
”Pokoknya Bintang benci!!!” lanjutnya.
Aku terdiam.
”Langit udah menghianati cinta Bintang selama ini. Tahukah Langit, Bintang ini cinta ama Langit. Dalam diam Bintang, Bintang mencintai sepenuh hati. Dan Bintang berharap Langit menjadi pendamping Bintang. Apa kurang kesetiaan Bintang selama ini menemani Langit di setiap malam? Apa kurang cahaya Bintang ini, Ngit? Sakit banget Ngit rasanya hati Bintang. Sekarang rasanya percuma. Percuma kasih dan sayang dan pengorbanan Bintang untuk Langit selama ini. Langit bohong! Langit selalu nyakiti hati Bintang. Bintang benci Langit...” terang Bintang menjejaliku dengan kata-kata itu.
”Bukan begitu Bintang...” aku mencoba menjelaskan, namun Bintang kembali memborong kata-kataku.
”Apanya yang bukan begitu? Langit mau minta maap? Nggak ada guna! Bintang sudah sakit! Ternyata Langit lebih memilih Bumi yang nggak pernah memberi apa-apa untuk Langit. Langit itu bego banget sih. Apa hebatnya Bumi??? Ha?” nanar dan kasar. Aku mulai sedikit kesal dikatakan Bintang bodoh. Dia juga menghina Bumiku.
”Jaga mulut Bintang ya... nggak sopan!” ucapku.
”Kenapa? Mau apa? Apa peduli Langit? Bintang udah mencintai Langit adanya. Tapi apa? Apa Langit mencintai Bintang?”
”Wallahu ’alam...”jawabku sekenanya. Kesal.
”Baiklah. Bintang nggak kan pernah lagi mencintai Langit. Bintang nggak kan maafin Langit. Bintang bersumpah. Bintang benci Langit selamanya! Tunggu aja, akan Bintang balas sakit ini. Tunggu dendam Bintang, Ngit!”



Ternyata, Bintang kini telah membenciku adanya. Ia benar-menar murka padaku. Ia marah. Ia lantas memerintahkan saudaranya, sang Matahari—Bintang yang yang paling terang di Bimasakti—untuk menghancurkan Bumiku dengan panasnya. Tentu saja, Matahari menuruti perintah Bintang, karena Matahari kan juga adalah Bintang.

Oh, tidak. Ini petaka untuk kekasihku. Bumiku bisa mati terbakar. Bintang memang kejam. Ia ingin membunuh kekasihku...



Sang Matahari dari hari ke hari makin meningkatkan pijar-nya yang begitu cerah. Kontan aku langsung melindungi, seperti janjiku, selamanya aku akan melindungi sang Bumi yang kucinta. Agar panas matahari tak bisa membakar Bumi, kutingkatkan kandungan zat dalam atmosferku yang melingkupi Bumi, Ozon, Nitrogen, Helium, dan lain sebagainya. Namun Matahari tanpa ampun terus mengeluarkan panas yang membara. Aku rela. Aku rela membakar diriku untuk Bumi. Demi Bumiku, aku rela mengorbankan diriku. ”Ya Allah, beri aku kekuatan... kekuatan untuk terus melindungi, mencintai, dan menjaga kekasihku Bumi.” doaku.

Hari demi hari. Terus kulindungi Bumi. Matahari tak henti berpijar membakar seantero mayapada. Aku terus bertahan. Dan dari Bumi, terlihat aku berwarna biru. Karena penghamburan cahaya matahari yang begitu sengat, lantas menempa awan, kemudian terbias olehku dan menciptakan spektrum warna biru. Seperti hukum yang dikemukakan John F Tyndall. Ya, yang tadinya aku tak berwarna, sekarang aku berwarna biru karena sinar Matahari tegak menyengat. Kudengar melalui Angin, bahwa di Bumi, Laut berkata...

”Langit, aku juga mencintaimu. Aku kagum dengan warnamu. Semakin hari warnamu semakin biru. Seperti warna Lautku. Teruslah mencintai Bumi. Dan aku juga mencintaimu…” Laut menghembuskan kata cintanya ke relung Langitku.

Bumi agaknya bahagia dengan aku yang kini memiliki warna. Tapi mereka tidak tahu aku berwarna biru karena cinta. Aku menjadi biru karena bertahan atas nama cinta. Aku tak ingin Bumi tahu bahwa biruku ini karena melindunginya dari Matahari. Biarlah Allah saja yang tahu pengorbanan cintaku. Biarlah aku sakit demi kekasihku tersenyum melihatku indah, melihatku biru, melihatku memesona. Meskipun ia tidak tahu bahwa aku disini tersiksa, menahan panas yang niscaya bisa membunuhku...

Dalam hati aku berkata,

”Selagi kau lihat aku masih biru, maka selagi itu pulalah cintaku masih bersemi untukmu. Selagi dapat kau lihat warnaku, maka selagi itu pulalah aku mencintaimu. Duhai Bumi... kalaupun nanti aku mati, cintaku..., kekal untukmu... abadi selamanya...”

Epilog:




”Bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr : 24)

”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid : 4)

Begitu banyak ayat Allah yang menyebutkan Langit dan Bumi secara bersama. Banyak ayat yang menyandingkan Langit dan Bumi antar satu ayat. Inilah, garis tangan cinta yang Allah gambarkan dalam Al-Qur’an. Langit dan Bumi.



Jika kita ingin melihat cinta Langit dan Bumi, maka suatu hari pergilah ke suatu bukit yang tinggi, atau pergilah ke sebuah pantai atau demaga pelabuhan. Tunggulah waktu senja tiba. Maka senja akan bertutur kepadamu tentang cinta mereka di ufuk barat. Kan kau lihat titik temu antara Daratan dan Langit, disitu mereka mengadu cinta. Kan kau lihat juga di Laut, di penghujung titik mata memandang, di titik itulah, Laut dan Langit memadu cinta. Biru mereka bertemu. Sang bayu menjadi saksi peraduan cinta itu. Dan perlahan gurat merona menyembul di pipi Langit. Pipi cinta. Dan ketika itu Burung tertawa...

Apakah secara fisik Langit itu ada? Tentu tidak! Langit itu tak ada, ia bersemayam tanpa batas. Ya, warna birunya lah yang membuat kita menyebutnya Langit. Warna birunya lah yang membuat ia ”ada”. Dan warna biru Langit ada karena cinta. Karena cinta yang dengan tulus, dengan penuh pengorbanan ia berikan untuk Bumi. So, jadilah seperti Langit!

”Biarlah aku merasakan derita ini. Sampai kapanpun aku akan terus mencintaimu wahai Bumi... aku ingin melihat kau tersenyum menatap indahnya biruku...”

* * * * *

Oleh Putra arliansyah
Dahulu kala Langit itu bukan Biru...

No comments: